Oleh Dr. H. Marzuki Alie
Hari Kelautan Dunia atau World Ocean Day yang selalu
diperingati pada tanggal 8 Juni, tahun ini mengambil tema besar Together We
Have the Power to Protect the Ocean.Sebagaimana biasa, hari kelautan dunia yang
kita peringati bulan Juni lalu, selalu dirangkaikan dengan kegiatan Hari
Nusantara disertai workshop yang menampilkan pimpinan-pimpinan lembaga negara
untuk memberikan pandangan mengenai kebijakan kelautan di Indonesia. Pada
Majalah Parlementaria edisi ini, sebagaimana pada edisi 94 TH. XLII 2012 yang
lalu, saya perlu menyampaikan opini penting mengenai kebijakan kelautan,
khususnya terkait dengan penyelesaian RUU Kelautan di DPR-RI.
Sejak awal peradaban terbentuk, laut digunakan dalam tiga
cara utama: untuk transportasi, kekuatan militer dan sebagai sumber makanan. Tiga
cara ini makin meluas, termasuk sebagai sumber energi, tambang mineral, dan
sebagainya. Demikian pula Indonesia .
Negara kita Indonesia
yang sebagian wilayahnya berupa laut dan memiliki ekosistem perairan laut yang
beraneka ragam, sangat dibutuhkan untuk memperbaiki peradaban bangsa, sehingga
seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kemanfaatan
terhadap laut kita harus kita manfaatkan sebesar-besarnya.
Ekosistem
perairan laut dan pesisir yang dimiliki negara kita, dapat bersifat alamiah
maupun buatan. Yang alami seperti hutan bakau, terumbu karang,
rumput laut, pantai pesisir, dll. Dan ekosistem buatan seperti, tambak, sawah
pasang-surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan permukiman, dll. Dengan
demikian pengelolaan ekosistem perairan laut menjadi kewajiban bagi negara
untuk menjaga dijaga, utamanya demi perbaikan kehidupan rakyat, agar dapat
memanfaatkan sumberdaya laut secara efesien dan efektif.
Diplomasi Kelautan
Upaya penguasaan, perlindungan dan pemanfaatan kekayaan
laut, sejak Republik Indonesia berdiri, sebenarnya telah diupayakan melalui
perjuangan diplomatik Indonesia dalam politik geostrategis berdasarkan paham
kenusantaraan.Yaitu dengan disahkannya Deklarasi Djuanda(13 Desember 1957) oleh
Konvensi PBB tentang Hukum Laut United Nations Conventions on the Law of the
Sea (UNCLOS).Diakui, Deklarasi Djuanda inidipandang sebagai sebuah asertifisme
diplomasi Indonesia,yang telah memberikan landasan strategis dalam mengelola
politik kewilayahan nusantara,sebagai konsekuensi logis sebuah negara kepulauan
ke depan.
Melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut ini, kepentingan
nasional sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Djuanda menjadi kenyataan,
yakni diakuinya lebar laut teritorial maksimal 12 mil laut dan konsepsi negara
kepulauan serta sekaligus “menjungkirbalikkan”ketentuan batas lautan
territorial warisan Pemerintah Kolonial Belanda seperti tercantum dalam
“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939”Stbl. 1939 No.442 artikel
1 ayat (1), yang membagi wilayah daratan Indonesia menjadi bagianterpisah
dengan wilayah teritorialnya masing-masing. Namun demikian, dalam rangka
menegakkan kedaulatan wilayah di laut,menguatkan potensi pengelolaan wilayah
perairan, dan menjalankan hak dan tanggungjawab internasional berdasarkan
regimeUNCLOS, kebutuhan bagi kehadiran sebuah hukum pengelolaan dan pembangunan
kelautan nasional yang komprehensif,tetap menjadi menu legislasi yang strategis
dan penting.Mandat UNCLOS harus menguatkan Indonesia dalam melaksanakan hak dan
kewajiban, baik dalam lingkup nasional, regional dan internasional. Negara kita
sudah melaksanakan semua mandat tersebut, yang diatur dalam kira-kira 20 UU
sektoral.
Pada UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
misalnya, sudah dijabarkan semua hak dan kewajiban sebagai negara kepulauan. Dalam
konteks pelaksanaan ketentuan UNCLOS, karena kita sudah meratifikasinya, Indonesia sudah
melaksanakan dengan segenap aturan atau UU terkait. Kalaupun sepenuhnya belum
optimal, itu terjadi karena UU-nya belum selesai, yaitu UU Kelautan yang sampai
saat ini masih dibahas di DPR bersama Pemerintah. Namun demikian, kalaupun UU
ini belum selesai, tidak terlalu menjadi masalah, sebab pengelolaan sebagai
negara kepulauan sudah berjalan dan belum ada preseden klaim atau protes dari
regime UNCLOS kepada RI. Namun demikian, UU Kelautan yang sedang dibahas ini
sangat penting dalam konteks pembangunan Indonesia yang harus berbasis
kelautan, infrastruktur yang memadai dan kepentingan pertahanan, eksploitasi
sumberdaya laut untuk pembangunan. Dengan demikian UU Kelautan ini sesungguhnya
sangat dinanti oleh masyarakat Indonesia .
Urgensi dan Hambatan
Pembahasan RUU Kelautan
DPR-RI sebagai lembaga yang berwenang membentuk
undang-undang, telah menetapkan politik legislasi yang sejalan dengan cita-cita
pendiri bangsa dalam mengelola sektor kelautan berdasarkan UNCLOS. Semua
diarahkan dalam mendukung visi pembangunan jangka panjang nasional yang di
dalamnya pembangunan bidang kelautan diarahkan untuk mewujudkan Indonesia
sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan
nasional.
Kehadiran sebuah UU tentang Kelautan mencerminkan besarnya
derajat kemauan politik negara dalam menetapkan politik pembangunan
kelautannya. Dalam konteks kepentingan nasional, kehadirannyasekaligus juga
menjadi wahana yang sangat kondusif dalam memperkokoh jati diri Indonesia
sebagai negara maritim dalam rangka mewujudkan negara kepulauan yang mandiri,
maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional. Dengan luasnya cakupan
pengaturan dan irisan kepentingannya dengan beberapa sektor lainnya, kehadiran
UU ini dapat menjadi salah satu masterpiece produk hukum yang dihasilkan oleh
regime politik pemerintahan dewasa ini. DPR-RI mengambil posisi politik bahwa
proses penyusunan undang-undang tentang kelautan,setidak-setidaknya harus memenuhi
dua syarat substantif sebagai necessary condition dan satu syarat politik
sebagai sufficient condition.
Pertama,perlunya menetapkan norma-norma pengaturan di dalam
undang-undang tentang kelautan yang berbeda dan belum diatur dalam serangkaian
peraturan perundang-undangan yang sudah ada.Kedua, norma-norma tersebut harus
dapat berfungsi sebagai rujukan bagi norma-norma terkait yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Dengan demikian,
potensi benturan pengaturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait dapat dihindarkan.Ketiga,terpenuhinya syarat politis melalui
kelembagaan Prolegnas berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
RUU tentang
Kelautan telah menjadi agenda prioritas tahunan Prolegnas pada tahun 2013 ini. Dengan
demikian, proses agenda-setting bagi pembahasan
RUU tentang Kelautan masih menyisakan ruang yang sangat
terbuka.Kalaupun misalnya proses tersebut tidak selesaitahun ini, DPR-RI dan
Pemerintah harus tetap mencapai konsensus politik untuk menetapkan agenda
pembahasan RUU tersebut ke dalam prioritas tahunan Prolegnas tahun 2014.Dengan
demikian, jika RUU tentang Kelautan tidak masuk dalam prioritas tahunan
Prolegnas pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR RI, harus melakukan sebuah
terobosan politik sesuai dengan mandat Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ayat (2), khususnya huruf b: “Dalam
keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat: mengajukan Rancangan Undang-Undang
di luar Prolegnas mencakup keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.”
Melalui instrumen inilah, Pemerintah dan DPR RI harus
mampu mencapai konsensus politik untuk menetapkan isu pengaturan dalam RUU
tentang Kelautan sebagai keadaan tertentu yang memiliki urgensi nasional. Dengan
demikian, persoalan lambatnya penggodokan RUU tentang Kelautan sebenarnya
menjadi tanggung bersama antara DPR-RI dan Pemerintah.
Sampai saat ini,
komunikasi DPR dan Pemerintah sangat baik. Bulan Juni ini untuk pertama
kalinya, kecuali pada pembahasan RUU APBN, seorang Menteri hadir di DPR untuk
“mengejar-ngejar” penyelesaian RUU, sebab biasanya DPR-lah yang sering meminta
Pemerintah segera menyelesaikan pembahasan. Menteri Kelautan dan Perikanan
Cicip S. Soetardjo beserta jajarannya, hadir di ruang rapat pimpinan DPR
bertemu dengan Ketua DPR, Ketua Baleg dan Ketua Komisi IV untuk memperjelas
progres pembahasan RUU Kelautan. Dalam pertemuan ini, sebagaimana disampaikan
oleh Menteri Kelautan, posisi RUU Kelautan yang saat ini masih dibahas, adalah
RUU Prolegnas tahun ini yang berada pada nomor urut 62 sebagai RUU Prolegnas
2013. Berdasarkan surat nomor S.31.36/DEKIN.3/TU.210/I/2013 tanggal 31 Januari
2013, Dewan Kelautan secara resmi memintakan kepada Sekretaris Jenderal DPR-RI,
DPD-RI, Badan Legislasi , DPR-RI, Komisi I, Komisi II, Komisi III, Komisi IV,
Komisi V, Komisi VI, Komisi VII, Komisi VIII dan Komisi IX, untuk membentuk
panitia khusus terkait RUU tentang Kelautan. Selanjutnya, pada tanggal 28 Maret
2013, Komite II DPD-RI secara resmi telah menyampaikan draft RUU tentang
Kelautan kepada Badan Legislasi.
Dengan demikian, bersamaan dengan pembahasan RUU Kelautan
antara Pemerintah dan DPR, dengan adanya keputusan MK No. 92/PUU/2012 mengenai
diberikannya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) untuk membuat
peraturan perundang-undangan namun belum ada Juklak dan Juknis pelaksanaannya,
menimbulkan kerancuan dan menghambat Baleg DPR-RI dalam melakukan pembahasan
RUU Kelautan. Sehingga, untuk melaksanakan pembahasan RUU Kelautan ini harus
ada pertemuan terlebih dahulu dengan MK, khususnya berkaitan dengan kewenangan
DPD, sehingga pembahasan RUU kelautan berjalan sesuai kaidah dan mekanismenya.
Selanjutnya, pada laporan yang disampaikan Ketua Baleg,
disampaikan bahwa akan dihadapi proses pembahasan yang memperkuat ataupun
memperlemah optimisme penyelesaian RUU ini tahun 2013 ini. Sebab, antara lain
permasalahan yang dihadai adalah, naskah akademik RUU Kelautan ini belum
komprehensif sehingga perlu dibahas lebih matang. Persoalan lainnya adalah
antisipasi terhadap adanya materi-materi yang tumpang tindih yang dimuat di RUU
ini dengan materi yang sebenarnya juga telah diatur di RUU lainnya. Membahas
dan mengantisipasi hal ini perlu kejelian mendalam, dengan demikian pembahasan
RUU ini memang harus dilakukan oleh Pansus lintas Komisi.
Penutup
Penyelesaian RUU
Kelautan, bagi DPR, sangat perlu untuk disegerakan. Namun demikian,
sebagaimana kewenangan DPR yang “dibatasi”, bahwa sebuah RUU harus dibahas
dengan Pemerintah, maka komunikasi dengan Pemerintah inilah yang menjadi kunci
penyelesaian RUU Kelautan ini. Masalah komunikasi dengan pemerintah inilah yang
juga harus dilakukan oleh DPr untuk penyelesaian berbagai RUU yang sedang
dibahas. Dengan demikian, kita semua berharap berbagai RUU di DPr, khususnya
RUU Kelautan, dapat segera di selesaikan