Oleh : Marzuki Alie
Beberapa waktu belakangan ini, perhatian masyarakat kembali
mengarah ke Aceh. Perhatian tersebut muncul bukan karena bencana gempa bumi,
tsunami atau munculnya kelompok separatis di wilayah ini, namun oleh
disahkannya QanunNo.3tahun 3013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, yang
mengadopsi lambang dan bendera yang mirip simbol Gerakan Aceh Merdeka, sebagai
lambang dan bendera Aceh. Dengan peristiwa ini, masyarakat dan Pemerintah
kemudian kembali bertanya, apakah yang diinginkan oleh masyarakat Aceh telah
difahami oleh Pemerintah Daerahnya? Sebab kebijakan implementasi hukum Islam
dan kebijakan lokal di Aceh, seperti disahkannya Qonun No. 3 tahun 3013, justru
mengundang keraguan dari masyarakat Aceh sendiri.
Tidak lepas dari pengesahan Qanun, yang pada saat opini ini
ditulis masih dievaluasi oleh Pemerintah Pusat, patut kita cermati kembali
pemikiran mengenai makna implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal di Aceh
Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Aceh khususnya, sangat
menginginkan kembali hadirnya kejayaan “Tanah Rentjong” sebagaimana kejayaan
Kerajaan Samudera Passai di abad ke-14. Kesultanan Passai atau Samudera Passai,
adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang kayadan makmur, yang amat
disegani oleh penjajah Barat maupun negara-negara wilayah Asia Tenggara. Masa
kejayaan Samudera Passai, sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara dengan
julukan “Serambi Mekkah” inilah, yang kemudian menjadi model bagi masyarakat
Aceh untuk diwujudkan kembali di masa sekarang.
Berbagai diskusi, seminar, dan berbagai upaya yang telah
dilakukan untuk mewujudkan kejayaan Aceh, termasuk implementasi hukum Islam dan
berbagai kebijakan lokal terkait otonomi daerah. Tidak terkecuali Seminar
Internasional Samudera Pase di Kota Lhokseumawe yang saya hadiri beberapa waktu
lalu, juga bertujuan untuk menggali kembali peradaban Islam dan peran strategis
Aceh sebagai pusat pembaruan menuju tata kehidupan yang lebih Islami
Politik Islam
Berbicara mengenai upaya implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal Aceh,
tentu saja tidak lepas dari berbicara mengenai Islam sebagai “Politik Islam”
(Siyasah Islamiyah). Jangan keliru dengan istilah “IslamPolitik” yang
menempatkan Islam sebagai “objek politik”, misalnya menggunakan simbol-simbol
Islam untuk kepentingan politik praktis pada partai-partai tertentu. Politik
Islam memiliki pengertian lebih luas, mengandung pemikiran yang bermula dari
masalah etika politik, falsafah politik, kepercayaan, hukum, dan sebagainya,
hingga tata-cara hidup bernegara.Para orientalis Barat pun mengakui, Islam
lebih dari sekadar agama, namunjuga mencerminkan sistem peradaban yang lengkap,
yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Islam bukanlah semata agama (a
religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system).Bahkan
boleh dikatakan bahwa keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bermula
pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Meskipun pada beberapa puluh tahun belakangan ini ada
sementarakalangan ummat Islam yang mengklaim diri sebagai kalangan “modernis”,
yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, yaitu Islam dan politik, namun seluruh
gagasan pemikiran Islam sesungguhnya dibangun diatas fundamen bahwa kedua sisi
itu saling bergandengan dengan selarasdan tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.Pemikiran tentang pemisahan Islam dan politik yang berkembang sebagai
pemikiran “Islam politik”, yang ujung-ujungnya tetap saja menggunakan Islam
sebagai simbol gerakan politik, sesungguhnya berkembang dari paham
“sekularisme” yang muncul sejak era Revolusi Prancis. Sejak Revolusi
Perancis,agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan
negara,yaitu bahwa gereja harus terpisah dari negara.Namun demikian, Islam
masih tetap pada “penyatuan Islam dan politik”sejak zaman Nabi hingga kini,
bahkan “pemisahan Islam dan Politik” kemudian menjadi tantangan besar bagi
ummat Islam dalam menjalankan keislamannya secara kaffah.
Menurut para ulama muslim, yang menjadi tumpuan dalam
siyasah islamiyah, setidaknya adalah pertama, untuk menjaga agama dan mengatur
kehidupan dunia (harasatud din wa siyasatud dunya) dalam satu tarikan nafas.
Kedua, pendekatan kebijakan yang bertumpu pada prinsip yaitu kebijakan
pemerintah atas rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan rakyat (tashorruful imam
‘alar ra’iyah manuthun bil mashlahah). Kemaslahatan rakyat yang menjadi
kewajiban pemerintah berwujud perlindungan atas hak-hak dasar rakyat yang
terakumulasi dalam lima
hak, yaitu: perlindungan agama (hifdhud-din), perlindungan jiwa (hifdhun-nafs),
perlindungan akal (hifdhul-aql), perlindungan kekayaan (hifdhul-mal), dan
perlindungan reproduksi (hifdhun-nasl). Perlindungan terhadap lima hak inilah yang menjadi tanggungjawab
terhadap berdirinya sebuah pemerintahan (khususnya pemerintahan Islam) dengan
mengelaborasi konsep dan metode implementasi hukum-hukum Islam. Sementara itu,
rakyat atau ummat, mempunyai kewajiban patuh dan taat kepada pemerintah, selama
pemerintah pemegang kekuasaan tetap menjalankan amanat dan berbuat keadilan,
sebagaimana disebutkan pada QS. An-Nisa ayat 58
Dua kewajiban inilah, (yaitu kewajiban pemerintah terhadap
rakyat dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah), yang harus dipenuhi sehingga
tercipta ruang siyasah islamiyah bagi terciptanya peradaban ummat. Tata-kelola
pemerintahan harus bertumpu pada kesetaraan dan harmonisasi antara ulama’,
umara’ dan rakyat secara sinergis, yang masing-masing mempunyai kewajiban dan
hak dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sesuai dengan prinsip menjaga
tradisi lama yang baik dan menyempurnakan dengan yang baru yang lebih baik.
Inilah inti dari politik Islam yang bertujuan untuk kemaslahatan kehidupan
ummat, baik di dunia maupun di akhirat
Kebijakan Lokal
Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Aceh menginginkan berbagai upaya untuk
mengembalikan kejayaan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, menjaga dan
menegakkan ajaran Islam yang moderat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Upaya ini tentu saja tidak mudah, sebab cakupannya sangat luas, antara lain: pertama, mengatur
peri-kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, kedua,
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, dan ketiga,menciptakan
sumberdaya manusia yang unggul dan berkualitas. Sementara, kita mendapatkan
problem-problem utama yang harus diselesaikan, seperti kemiskinan, kebodohan,
pengangguran, kerawanan sosial, keamanan, aparat birokrasi, dan lain-lain.
Mewujudkan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam,
menjaga dan menegakkan ajaran Islam moderat yang tidak mudah, tentu memerlukan
strategi yang baik. Strategi tersebut harus mencakup banyak hal, misalnya
strategi struktural (regulasi) maupun strategi sosio-kultural.
Keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara yuridis formal
telah mendapat tempat dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 29.Di Aceh,
setelah mengalami beberapa pemberlakuan UU, saat ini berlaku UU otonomi khusus
bagi Aceh. Pasca Reformasi,Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
kemudian UU No. 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya, UU No. 18 Tahun 2001 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Salah satu aspek yang menjadi bagian dari kerangka otonomi
khusus di Aceh adalah pemberlakuan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari
sesuai dengan tradisi dan norma yang hidup masyarakat Aceh.Namun dalam bidang
hukum pidana, hukum pidana Islam,baru diterapkan terhadap beberapa tindak
pidana tertentu yang terjadi di Provinsi Aceh dan dituangkan dalam Qanun Aceh
(peraturan sejenis Peraturan Daerah)yaitu larangan mengkonsumsi minuman khamar
dan sejenisnya, larangan melakukan perbuatan maisir (perjudian), dan larangan
melakukan khalwat (mesum). Beberapa Qanun lain juga sedang dibahas, termasuk
Qanun No. 3tahun 3013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Melihat beberapa Qanun yang sudah ada maupun yang sedang
dipersiapkan, sesungguhnya upaya pelaksanaan syari’at Islam telah banyak
diupayakan. Namun, pelaksanaan syariat Islam yang terwujud dalam Qanun tersebut
belum benar-benar berhasil dalam membentuk masyarakat yang Islami. Pada tahun
2012 saja, telah terjadi sebanyak 3086 kasus pelanggaran hukum Islam yang terjadi
di Aceh. Kasus tersebut terdiri atas 2.318 kasus pelanggaran akidah ibadah dan
syiar islam, 51 kasus khamar, 78 kasus maisir, dan 693 kasus khalwat.Ini
artinya, pembentukan berbagai regulasi ini tidak cukup. Perlu strategi
sosio-kultural yang seiring dengan pemberlakuan hukum positif tadi. “Dakwah”
sosio-kultural inilah yang menjadi kunci dalam membangkitkan kejayaan ummat.
Makna dakwah sangat luas. Dakwah adalah seruan (ajakan)
kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang buruk menjadi lebih baik dan
sempurna. Tak sekadar berceramah, bahkan terkadang tidak harus dengan mengajak.
Melalui keteladanan, akhlak dan perilaku baik, bisa jadi kita telah berdakwah
dan mendapat pahala-Nya. Dalam konteks Aceh, Dakwah inilah yang harus
dilakukan terus menerus, sehingga masyarakat Aceh memiliki pemahaman yang sama
terhadap implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal yang hendak diterapkan
Penutup
Melihat kejayaan Aceh di masa lalu dengan ciri khas
masyarakatnya yang religius, sesungguhnya tidak ada yang meragukan “keislaman
Aceh”. Di sinilah muncul Kesultanan Islam pertama di Nusantara, dan Pemerintah
telah memberikan status otonomi khusus kepada masyarakatnya. Namun, kita
melihat bahwa cita-cita mewujudkan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam,
hingga kini masih banyak persoalan, baik dalam elaborasi konsep, implementasi
hukum sampai perilaku ummat. Beberapa Qanun yang diberlakukan, adalah upaya
yang baik untuk mewujudkan cita-cita tersebut, meskipun dalam beberapa hal
justru menimbulkan keraguan seperti pada Qanun tentang bendera dan lambing
Sesungguhnya di Aceh, masih banyak persoalan ummat yang
harus diselesaikan. Persoalan ummat tidak selalu berupa pelanggaran terhadap
hukum positif (Qanun) semata, namun juga permasalahan lain, terutama masalah
akhlak dan perilaku ummat. Artinya, konsentrasi terhadap masalah-masalah
penerapan hukum positif, tidaklah cukup mampu membangkitkan kejayaan Aceh,
tanpa didukung kegiatan dakwah secara massif. Dakwah yang dilakukan terus
menerus, Insya Allah, akan membuka pemahaman masyarakat Aceh, sehingga keinginan
masyarakat Aceh benar-benar dimengerti oleh Pemerintah Daerah tanpa harus
memaksakan Qanun yang bersifat simbolik, seperti lambang dan bendera.
Wallahu’alam Bishawab.**