Dr Marzuki Alie
Berbagai masalah seputar desentralisasi dan pengelolaan sumberdaya, khususnya
sumberdaya alam, di daerah, masih cukup mendominasi berbagai tema diskusi yang
sering saya hadiri. Namun demikian, tema-tema seperti ini memang sangat penting
untuk terus-menerus dielaborasi demi perbaikan sistem otonomi daerah. Sebagaimana
tema opini saya di majalah Parlementaria Edisi 100 TH.XLIII 2013, saya kembali
mengetengahkan tema tentang daerah.
Desentralisasi
Konsep desentralisasi di Indonesia, awalnya semata-mata merupakan “reaksi” atas
praktik pembangunan nasional Orde Baru yang sentralistik dan sekedar
sebagaituntutan yang harus diterapkan dengan diimplementasikannya konsep
otonomi daerah secara luas. Namun demikian, paradigma ini mestinya sudah
saatnya dirubah, bukan hanya sekedar reaksi atas praktik pembangunan di era
Orde baru, namun lebih kuat dari itu, yaitu untuk kesejahteraan rakyat di
daerah.
Paradigma yang berkembang selama ini tentang desentralisasi adalah: pertama, desentralisasiitu
selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis, dengan adanya pengaturan
kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kedua, mencegah
terjadinya pemusatan kekuasaan serta mendorong demokratisasi di tingkat lokal, ketiga, menciptakan
efisiensi pemerintahan,keempat, kepentingan rakyat di daerah-daerah yang
memiliki kekhususan-kekhususan tertentu dapat tertangani dengan lebih baik, dan kelima, pembangunan
berjalan lebih baik dan terarah, karena dilakukan langsung oleh satuan-satuan
pemerintahan di tingkat daerah.
Menguatkan paradigma tersebut, filosofi desentralisasi yang
juga menjiwai setiap UU tentang daerah, mulai dari UU No. 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah (yang berlaku di jaman Orba), kemudian UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah beberapa kali diubah, terakhir melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan
beberapa RUU lain adalah, pertama, akan muncul kemandirian yang
digerakkan oleh kreativitas dan inovasi daerah dalam mengoptimalisasikan
berbagai potensi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya
alam, untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan daerah. Kedua, tata
hubungan antara pusat-daerah diharapkan akan menjadi lebih proporsional,
harmonis dan produktif dalam rangka penguatan integrasi (persatuan dan
kesatuan) bangsa dan pembangunan nasional.
Menggali makna desentralisasi ini juga dapat kita lihat lebih detail, jika kita
membandingkan pokok-pokok pikiran antara UU No. 5 tahun 1974 dengan UU No. 22
tahun 1999, dan UU No. 32 tahun 2004. Perbedaan itu intinya adalahtarik menarik
pada sisi terlalu desentralistis atau masih sentralistis. Kalau UU tahun 1974
dianggap lebih sentralistis, UU tahun 1999 sangat desentralistis (karena
euforia desentralisasi di era reformasi), UU tahun 2004 kembali dibawa ke arah
lebih sentralistis. Hal ini terjadi antara lain, akibat pelaksanaan UU 1999
yang antara lain karena kesiapan/kekurangsiapan daerah. Bahkan, ketika UU No.
32 tahun 2004 yang direvisi melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008, juga
dipandang masih belum cukup memadai untuk merealisasikan paradigma
desentralisasi tersebut.
Merealisasi
paradigma desentralisasi ini terus dilakukan seiring dengan berbagai masalah di
daerah. Sebab, desentraslisasi yang dilakukan terhitung sejak
diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, masyarakat masih merasa “tidak ada
peningkatan kesejahteraan”. Pengelolaan sumberdaya alam daerah juga banyak
terkendala. Namun demikian, revisi UU ini tetap dilakukan oleh DPR bersama
Pemerintah, agar mendapat solusi yang tepat, yang mampu menjawab berbagai
permasalahan daerah. Bahkan saat ini pun, DPR bersama Pemerintah sedang
melakukan revisi terhadap UU tentang Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi 3
(tiga) RUU yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pilkada dan RUU
tentang Desa.
Mengenai RUU Pemerintahan Derah ini, secara substansi, sebenarnya terdapat 22
isu strategis yang teridentifikasi dan memerlukan pemikiran mendalam untuk
didiskusikan. Isu-isu ini antara lain menyangkut pembentukan daerah
otonom, pembagian urusan pemerintahan, daerah berciri kepulauan,
pemilihan kepala daerah, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
perangkat daerah, pembangunan daerah, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan
daerah, dan tindakan hukum terhadap aparatur daerah. RUU Pemda hanya memuat
pengaturan-pengaturan secara umum, sedangkan pengaturan lebih lanjut secara
rinci akan diatur masing-masing dalam UU tentang Pilkada dan UU tentang Desa.
Pengelolaan Sumberdaya Daerah
Membahas permasalahan daerah, paling tidak ada 4 hal pokok yang sampai saat ini
masih menjadi masalah. Pertama, apakah di era otonomi daerah saat ini,
Peraturan Daerah (Perda) di bidang pengelolaan sumberdaya alam sudah memadai
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Kedua, bagaimanakah upaya
penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumberdaya alam di daerah? Ketiga,bagimanakah
penerapan dokumen pengelolaan sumberdaya alam dalam proses perijinan? Keempat,
bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan
instansi terkait dan stakeholders di daerah?
Pertama, tentang regulasi.Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi, yang dijabarkan sesuai PP No. 38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan
bahwa kontrol, baik dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah
terhadap peraturan perundang-undangan daerah yang muncul sebagai penjabaran UU
diatasnya, sangat lemah. Sehingga sangat mungkin, peraturan-peraturan daerah
ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU di atasnya tersebut.
Dengan demikian, untuk penyusunan berbagai regulasi di daerah, harus ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti political willPemerintah
Daerah; kapasitas kelembagaan dan kebijakan (Good Environment Governance);
adanya persepsi, sikap dan perilaku egosentrisme/sektoral; keterlibatan elemen
masyarakat; eksploitasi SDA tanpa diimbangi upaya konservasi; dan lain-lain,
sampai masalah lemahnya penegakan hukum.
Kedua, penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya
alam di daerah masih cukup banyak kendala. seperti: fragmentasi masyarakat
akibat menguatnya ego-sektoral, inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan daerah
sehingga memunculkan disharmoni, political willlemah dan sumberdaya
manusia lemah.
Namun demikian, penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam, seharusnya
dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada berbagai
perbaikan. Paling tidak, ada 6 perbaikan dan kemampuan yang harus dilakukan dan
dimiliki oleh daerah: pertama,lembaga perwakilan yang mampu menjalankan
fungsi kontrol yang efektif (effective representative system); kedua,
peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan
profesional; ketiga, Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan
memiliki integritas yang kokoh; keempat, masyarakat sipil yang kuat
sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public watchdog)dan
penekanan (pressure); kelima,desentralisasi dan lembaga perwakilan
daerah yang kuat serta didukung oleh local civil societyyang juga kuat (democratic
decentralization); dan keenam, sdanya mekanisme resolusi konflik. Pada intinya,
penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam ini, minimal harus melibatkan
tiga sisi, yaitu kapasitas kelembagaan dan kebijakan (good environment
governance),etika dalam eksploitasi SDA (eco-bisnis), dan kontrol masyarakat.
Ketiga, penerapan dokumen dan proses perijinan. Proses perijinan merupakan
suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin. Dalam proses perijinan
ini diperlukan beberapa dokumen yang terkait: feasibility study; Peraturan
Perundangan yang berpihak pada lingkungan hidup; jaminan keadilan dan kepastian
hukum bagi penyelenggara kebijakan; ruang aspirasi dan partisipasi semua
pemangku kepentingan; dan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua
pelaku lingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.
Tahap ini sangat berkaitan dengan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).
Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang
diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satu
syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil
studi Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.
Keempat, peningkatan koordinasi kelembagaan. Koordinasi yang harus
dilakukan mencakup koordinasi kelembagaan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan; koordinasi dalam pengelolaan SDA, termasuk kebijakan
operasional dan koordinasi dalam penegakan hukum; dan koordinasi kewenangan
mengatur dan mengurus pengelolaan SDA oleh daerah.
Dalam mengelola SDA, koordinasi antar departemen/sektor tidak hanya menyangkut
kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional sifatnya, tetapi juga
koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang tidak serta merta
menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi
peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan SDA, tetapi secara normatif
koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan diharapkan akan menghasilkan
peraturan perundang-undangan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama
lain.
Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur soal
koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka pengelolaan SDA. Karenanya,
diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi
terkait dan stakeholders di daerah.
Penutup
Akhirnya, saya ingin menyampaikan kesimpulan penutup, bahwa: dinamika
desentralisasi sejak era-reformasi sampai sekarang menunjukkan bahwa filosofi
desentralisasi tidak mudah diterapkan, utamanya melalui peraturan
perundang-undangan sampai dengan implementasi dan pengawasannya. Hal ini
terlihat dari berbagai kebijakan tentang daerah yang terus mengalami evaluasi,
bahkan revisi UU. Dengan demikian, proses desentralisasi ini sesungguhnya belum
selesai dan masih perlu perbaikan.
Terkait dengan pengelolaan SDA di daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang
berkepentingan, harus berprinsip pada pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan. Karena, pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat,
maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan
pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
Salah satu kesepakatan yang telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah adalah
memecah UU Pemerintahan Daerah kedalam 3 UU, yaitu UU tentang Pemerintahan
Daerah, UU tentang Desa dan UU tentang Pilkada. Diharapkan melalui pemecahan UU
Pemerintahan Daerah kedalam tiga undang-undang tersebut akan memberikan ruang
pengaturan yang lebih rinci dan komprehensif dari masing-masing isu tersebut
sehingga memberikan kontribusi pada kelancaran jalannya roda pemerintahan
daerah secara keseluruhan