Marzuki Ali - Membawa Amanah

Berbagi itu Indah dan Menyenangkan - www.marzukialiesijuki.blogspot.com

Marzuki Ali - Membawa Amanah

Berbagi itu Indah dan Menyenangkan - www.marzukialiesijuki.blogspot.com

Marzuki Ali - Membawa Amanah

Berbagi itu Indah dan Menyenangkan - www.marzukialiesijuki.blogspot.com

Marzuki Ali - Membawa Amanah

Berbagi itu Indah dan Menyenangkan - www.marzukialiesijuki.blogspot.com

Marzuki Ali - Membawa Amanah

Berbagi itu Indah dan Menyenangkan - www.marzukialiesijuki.blogspot.com

BUKA BERSAMA DPR DAN ANAK YATIM



Pimpinan DPR menggelar acara buka puasa bersama dengan sekitar 1000 anak yatim di Gedung DPR. Ketua DPR Marzuki Alie berharap acara bersama anak yatim membuat suasana politik lebih adem. Acara tersebut digelar di Nusantara V Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senayan, Jumat (2/8/2013). Hadir pimpinan DPR Marzuki Alie dan Priyo Budi Santoso. Sementara selain anak yatim hadir beberapa petinju nasional yang akan bertanding ke Taiwan. 

"Dalam sejarah belum pernah ada buka bersama anak yatim di Gedung DPR, kepada kesekjenan saya sampaikan niat ini dan responnya positif," kata Ketua DPR Marzuki Alie dalam sambutannya. "DPR ini situasi politiknya selalu panas, Insya Allah dengan anak yatim situasi politiknya jadi adem. Suasanya lebih bersahabat," imbuhnya. "Amin..." ucap sekitar seribu anak yatim yang hadir. 

Marzuki juga menyampaikan harapannya kepada anak yatim agar didoakan semoga pimpinan DPR selalu diberi kekuatan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas-tugas parlemen. "Walau nanti saya bukan ketua DPR lagi, tapi acara ini bisa diadakan tiap tahun. Dan yakin uang yang dikeluarkan pimpinan dan karyawan sesuai janji Allah akan dilipatgandakan," ucap politisi Demokrat itu. "Amin...!!!" timpal seribuan anak yatim, beberapa diantaranya bertepuk tangan. 

Bulan Suci Ramadan adalah bulan yang penuh berkah. Seluruh umat muslim di dunia berlomba-lomba mencari pahala sebanyak-banyaknya di bulan penuh ampunan ini. DPR melakukan buka puasa bersama dengan 1000 anak yatim piatu di Kompleks Parlemen, berkaitan dengan acara ini Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, lembaga legislatif sering lakukan buka puasa bersama dengan pimpinan institusi dan lembaga negara lainnya. Namun hal itu dilakukan di kediaman masing-masing pimpinan DPR. Menurut Marzuki, semenjak gedung DPR berdiri, tidak sekalipun ada acara buka puasa bersama dengan anak yatim piatu yang dilakukan di gedung mewah DPR ini

"Buka bersama selama ini sering dilakukan. Khususnya pimpinan DPR dengan presiden, dengan menteri, dengan komunitas berbagai elemen, tetapi itu dilakukan di rumah pimpinan DPR. Dalam sejarah DPR, belum pernah ada buka bersama anak yatim di DPR," ujar Marzuki.

Menurut Marzuki, buka bersama dengan anak yatim di DPR ini diselenggarakan dengan urunan dana dari pimpinan dan karyawan DPR. kegiatan dengan anak yatim ini merupakan inisiatifnya, sebab sebelumnya kegiatan buka bersama hanya dilakukan dengan dengan Pemerintah dan berbagai kelompok masyarakat di rumah dinas Ketua DPR.

Acara ini dilaksanakan dengan maksud mempererat kembali silaturahmi antar sesama, buka puasa bersama juga mengandung nilai sosial yang tinggi. Nilainya tentu sangat berharga dan mengurangi beban anak-anak yatim dan saudara-saudara kita yang kekurangan. Buka puasa bersama tidak hanya sebatas acara makan-makan dan kumpul-kumpul saja. Semoga dengan kegiatan yang biasanya rutin dilakukan ini memberi manfaat untuk kita semua. Amien. **

PEMBUKAAN MTQ XXXII DI KABUPATEN ROHUL


Pada puncak malam pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) XXXII Provinsi Riau di Kota Pasir Pangaraian, Rokan Hulu diwarnai pesta kembang api dan spektakuler sepanjang sejarah pelaksanaan MTQ di Provinsi Riau, dan dibuka hungga pukul 01.30 dinihari.

Malam pembukaan MTQ XXXII Riau, melibatkan seribu pelajar dari Kecamatan Rambah dan sekitarnya, yang menampilkan tarian 'Seribu Suluk', juga diramaikan sederetan artis ibukota mulai Wawa Marisa, Rhoma Irama dengan Soneta groupnya, serta tampilnya enam qori dan qoriah asal Iran dan Internasional yang dipanggil, ikut meramaikan pembukaan MTQ XXXII Riau tahun ini, juga menghadirkan 2.000 anak Rokan Hulu yang sudah Hafiz Al Qur'an.

Atraksi Marching Band Bina Gita Praja dari Satuan Polisi Pamong Praja membuka awal kegiatan pembukaan MTQ XXXII Riau, lalu devile kafilah dari 12 kabupaten/ kota di Riau yang juga disertai penampilkan seluruh profile daerah masing-masing kabupaten/kota.

MTQ XXXII Riau, dibuka Menteri Agama RI Suryadharma Ali, diwakili Dirjen Bimas Kementrian Agama (Kemenag) RI, Prof.Dr.H. Abdul Jamil, juga dihadiri kalangan pejabat se-Riau, termasuk Wakil Gubernur Riau H.R. Mambang Mit, Sekdaprov Riau Drs. Zaini Ismail M.Si, Kapolda Riau Brigjen Pol Drs Condro Kirono, Pangdam I Bukit Barisan, Kakanwil Kemenag Riau Drs H Tarmizi Tohor MA, para Bupati dan walikota se-Riau, tokoh agama dan tokoh adat se-Riau, ketua dan anggota DPRD se-kabupaten/kota di Riau, Ketua dan anggota DPRD Riau, Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat juga ketua DPR RI, Marzuki Alie, serta kepala daerah se-Riau, dan tamu undangan lainnya yang memadati tribun areal Astaka MTQ.

Bupati Rokan Hulu Drs.H. Achmad M.Si dalam sambutan pada pembukaan MTQ mengatakan, kegiatan yang dilaksanakan spektakuler memiliki 3 target sukses besar meliputi sukses penyelenggaraan, prestasi, dan sukses promosi daerah. Bupati berterima kasih, kepada Gubernur Riau H.M Rusli Zainal yang saat ini berada di Rutan KPK karena telah memberikan kepercayaan kepada Pemkab Rokan Hulu sebagai tuan rumah MTQ Riau tahun 2013. "Saya juga berterima kasih atas partisipasi masyarakat karena sudah bersedia menyediakan akomodasi bagi pemondokan kafilah dan official dari 11 kabupaten dan kota di Riau," kata Bupati Achmad pada sambutannya.

Kata bupati lagi, masyarakat Rokan Hulu terhadap helatan MTQ Riau ke-32 di Pasirpangaraian sangat luar biasa. Hal itu ditandai ramainya baliho dan lampu hias yang dipasang masyarakat di sepanjang jalan dari Simpang Lapangan Terbang Tuanku Tambusai hingga ke lokasi acara di Kota Pasirpangaraian. Bupati mengaku, soal membumikan Al Qur'an, Pemkab Rokan Hulu sudah mencanangkan sejak Program Gerakan Rokan Hulu Menghafal Alquran sejak 17 Ramadhan 1433 Hijriyah/ 2012 lalu. Bahkan hajatan akbar yang dilaksanakan, juga membawa hikmah dan berkah bagi masyarakat Rokan Hulu, karena banyak dagangan, rumah penduduk, yang menjadi tempat menginap bagi para khalifah, karena penuhnya hotel dan seluruh penginapan di Rokan Hulu.

Dalam sambutannya, Bupati Rokan Hulu tidak muluk-muluk terkait target juara. Pihaknya hanya menargetkan masuk dalam 4 besar se-Riau, namun begitu, dari acara tersebut akan jadi ajang promosi besar bagi daerah negeri seribu suluk seperti promosi potensi obyek wisata, sumber daya alam, adat istiadat, dan promosi lainnya.

Sekdaprov Riau mewakili Gubernur Riau, Zaini Ismail mengatakan, bahwa dari kegiatan tersebut Program Maghrib Mengaji dan program Membaca Al Qur'an di Riau bangkit. Zaini juga berharap para dewan hakim bersikap sportif dalam menentukan juara, sehingga qori dan qoriah yang juara benar-benar peserta yang memiliki kualitas untuk mewakili Riau pada event sama di tingkat nasional atau internasional.

Dirjen Bimas Kemenag RI, Abdul Jamil. Menurut Jamil, Maghrib Mengaji memang sudah mulai ditinggalkan masyarakat dan sudah tergantikan acara lain di televisi. "Ini lah yang harus kita galakan kembali. Semoga dari kegiatan ini, masyarakat kembali menggalakan Program Maghrib Mengaji yang sudah mulai ditinggalkan,"himbau Abdul Jamil yang membuka secara resmi MTQ XXXII Riau, ditandai dengan penekanan tombol bedug dan disemarakan ratusan kembang api di udara, bersama Bupati Rokan Hulu, Ketua DPR RI Riau, dan Sekda Prov Riau.

Sambutan Ketua DPR

Sementara itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie yang juga hadir dan memberikan sambutan pada acara MTQ Riau mengatakan bahwa penyelenggaraan MTQ ini, setidaknya kita sedang melakukan empat upaya sekaligus dalam menegakkan ajaran Islam. Yaitu syiar Islam, memelihara Al-Quran, silaturahim, dan meningkatnya pergerakan ekonomi masyarakat setempat.

"MTQ adalah sarana syiar Islam. Salah satu faktor yang memacu dakwah adalah syiar. MTQ adalah kegiatan yang monumental, sebagai tanda-tanda atau peringatan yang mampu mengingatkan kita kepada Allah SWT. Acara MTQ semacam ini, harus dijaga dan dipelihara sebagai peringatan, agar ummat dapat mengambil pelajaran sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Dzariyat: 55," demikian sambutan Ketua DPR.

Sebagai upaya memelihara Al-Quran, MTQ ini adalah bagian dari memelihara sekaligus memaknai kembali al-Quran. Ketika Al-Qur’an difungsikan hanya sebagai sarana pengusir syetan, sebagai pelaris dagangan, memperlancar bisnis, tolak bala, enteng jodoh dan lain-lain yang tidak diamalkan secara ‘aqliyah dan naqliyah, maka hal itu hanya menjadikan Qur’an sebagai kitab musiman, bahkan hanya pajangan. Hanya pelengkap dan aksesoris belaka, tanpa kemampuan memahamai serta mengaktualisasi isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bunga mawar bunga melati
Kala dicium harum baunya
Banyak cara sembuhkan hati
Baca Qur’an paham maknanya

"Intinya adalah, al-Qur’an selalu menjadi pedoman kita dalam setiap berusaha, bekerja, beribadah dan melakukan hubungan silaturahmi dengan siapapun," demikian sambutan Marzuki Alie.

Malam Pembukaan MTQ XXXII Riau di Kota Pasir Pangaraian, berlanjut hingga sekitar pukul 01.30 dinihari, yang ditutup dengan penampilan sejumlah artis ibukota yang membawakan lagu-lagu khas Rokan Hulu, tarian 'Seribu Suluk" melibatkan 1.000 pelajar yang didukung oleh lighting dari salah satu productions, dan acara ditutup dengan penampilan Rhoma Irama bersama Soneta, bahkan sebelum berkahir, letupan dan suara pesta kembang api di langit lokasi pusat kegiatan MTQ XXXII Riau di gelar, membuat langit terang benderang.**

KETUA DPR GELAR OPEN HOUSE DI HARI NAN FITRI



Idul Fitri merupakan bagian dari membersihkan diri, menjadikan jati diri yang bersih dan suci. Hal tersebut diungkapkan Ketua DPR RI, Marzuki Alie saat menggelar Open House di rumah dinasnya di Komplek Widya Chandra, Jakarta, Kamis (8/8).

Ditambahkan Marzuki, selama bulan Ramadhan sudah banyak amaliah yang dilakukan, dan itu merupakan hubungan setiap insan dengan Sang Khalik. Sementara Idul Fitri merupakan saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia atau Habluminanas. “Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk saling berbagi serta menjalin silaturahim dan kebersamaan. Zakat fitrah misalnya, dapat dimanfaatkan sebagai "alat" untuk membangun kebersamaan di tengah masyarakat,”jelas Marzuki.


Olehkarena itu, di hari nan fitri itu Marzuki menilai itulah kesempatan bagi setiap insan untuk saling berbagi. Tentunya berbagi kepada masyarakat yang kurang mampu. Dengan kesadaran untuk saling membantu itu, maka di hari nan suci itu setiap insan dapat bersuka cita merayakan hari kemenangan.



Sebelum menggelar Open House, Marzuki beserta istri, Asmawati Marzuki terlebih dahulu Sholat Idul Fitri, yang disusul dengan silaturahim di Istana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono, serta Wapres, Boediono beserta Herawati Boediono, juga para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, dan beberapa tokoh, Pejabat Negara RI.

Sementara itu, dalam Open House di rumah dinas Ketua DPR, selain masyarakat umum dari berbagai pelosok daerah, acara juga dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, pejabat Negara, anggota DPR/MPR, serta para duta besar dari beberapa Negara sahabat seperti Amerika Serikat, Mesir, Bangladesh, Vietnam dan Yaman.


dpr 

SHOLAT DI MASJID ISTIQLAL


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono melakukan shalat Idul Fitri 1434 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis pagi. Presiden Yudhoyono yang mengenakan jas berwarna hitam dan kain sarung berwarna merah itu duduk di barisan terdepan, tepat di belakang imam shalat, dengan didampingi oleh Wakil Presiden Boediono. Di sekitar Presiden, tampak sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, para duta besar negara sahabat dan putra Presiden. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, juga melaksanakan ibadah Sholat Ied di Masjid Istiqlal, Jakarta, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, Kamis (8/8).

Sementara itu Ibu Ani Yudhoyono tampak didampingi oleh Ibu Herawati Boedino dan kedua menantunya serta cucu dari putra sulungnya, Almira Tungga Dewi, yang mengenakan mukena berwarna merah jambu. 

Pada Kamis pagi, melalui akun jejaring sosial Twitternya, Presiden Yudhoyono menyampaikan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri. "Mari sambut hari kemenangan dengan hati yang bersih. Saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Mohon maaf lahir dan batin," unggah Presiden

Shalat Ied 1434 H di Istiqlal dimulai tepat pukul 07.00 WIB dengan imam Drs H Hasanuddin Sinaga MAg dan khatib Prof Dr. H Farid Wajdi Ibrahim MAg. Sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali membuka takbir akbar di Masjid Istiqlal dengan memukul bedug yang kemudian diikuti oleh kumandang takbir dari ratusan muslim yang hadir. 

Bertindak sebagai Khatib adalah Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim MA yang menyampaikan ceramah bertema "Idul Fitri, meraih kemenangan, kesucian, dan kebersamaan". "Idul Fitri adalah momen penting bagi seluruh umat Muslim untuk menjadi insan yang lebih baik, setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah Ramadhan," seru khatib yang menjabat Rektor IAIN Ar-Rainiry Darussalam, Banda Aceh

Dalam khutbahnya, Farid berpesan agar menerapkan nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam khutbahnya, Farid mengingatkan jangan sampai Ramadan hanya sebagai topeng kehidupan dan berharap kaum muslimin menjadikan bulan suci ini untuk memperbaiki kehidupan di bulan berikutnya. 

Kemenangan dalam Idul Fitri adalah berhasil mengalahkan hawa nafsu selama Ramadan sekaligus berhasil menguji masa keimanan. Sedangkan kesucian adalah kembalinya umat muslim kepada fitrah (kesucian jiwa) yang lebih sempurna. "Lalu dengan membayar zakat fitrah, umat telah menyucikan diri atau bebas dari noda dan dosa seperti bayi baru lahir dari sang ibu," ujar khatib Farid

Sekitar 200 ribu jamaah dari Jakarta dan sekitarnya menghadiri salat Ied di masjid terbesar di Asia Tenggara ini. Di antaranya terdapat pimpinan lembaga negara, menteri-menteri KIB II, dan para duta besar negara-negara sahabat.

PERTUMBUHAN EKONOMI 2009-2013 TERTINGGI PASCA KRISIS


Presiden Susilo Bambang Yudhoyno menyampaikan Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (RAPBN) tahun 2014 beserta Nota Keuangan di hadapan anggota DPR dan DPD RI, di Gedung Nusantara DPR/MPR, Jumat (16/8) pukul 14.30 WIB. Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2014 merupakan momentum terakhir dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

Berbagai rencana strategis dan kebijakan umum dalam RAPBN tahun 2014 mencerminkan kelanjutan dan hasil-hasil pembangunan nasional dalam empat tahun terakhir.

Pada tahun 2004, pemerintahan yang dipimpin oleh SBY bertekad untuk melanjutkan agenda reformasi. “Hasilnya telah kita lihat dalam sembilan tahun terakhir ini. Walau di tengah berbagai tekanan persoalan, baik yang terjadi di luar kuasa kita, seperti gejolak ekonomi dunia, dan bencana alam, maupun permasalahan internal seperti konsolidasi demokrasi, pertumbuhan ekonomi dalam periode tahun 2004-2009 mencapai rata-rata sekitar 5,5 persen,” ujar Presiden RI. “Capaian yang patut kita syukuri, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara besar dan negara maju pada kurun waktu yang sama,” lanjut SBY.

Sementara itu tercatat 2009-2013 pemerintah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,9% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 tahun sebelumnya. ”Inilah pertumbuhan ekonomi tertinggi, setelah kita mengalami krisis ekonomi lima belas tahun lalu,” SBY menegaskan.

Pendapatan per kapita, tahun 2004 Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia adalah 1.177 dollar Amerika Serikat dan terus meningkat menjadi 2.299 dollar Amerika Serikat di tahun 2009, hingga mencapai 3.592 dollar Amerika Serikat pada tahun 2012. ”Bila kita terus mampu menjaga pertumbuhan ekonomi kita, maka insya Allah pada akhir tahun 2014, PDB per kapita akan mendekati 5.000 dollar Amerika Serikat,” Presiden menerangkan.

Diantara negara anggota G-20, pada tahun 2012 dan 2013, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah Tiongkok. ”Pertumbuhan ekonomi yang membaik juga diikuti oleh menurunnya tingkat pengangguran terbuka dari 9,86 persen pada tahun 2004, menjadi 5,92 persen pada bulan Maret di tahun 2013,” SBY mengatakan. ”Demikan juga tingkat kemiskinan berhasil diturunkan dari 16,66 persen atau 37,2 juta orang pada tahun 2004, menjadi 11,37 persen atau 28,07 juta orang pada Maret 2013. Tentu kemajuan ini belum sempurna, dan masih bisa kita tingkatkan lagi,” Presiden manandaskan.

Wapres Boediono, para Menteri KIB II, para kepala lembaga tinggi, serta duta besar negara sahabat turut hadir menyaksikan pidato nota keuangan dan RAPBN kali ini.

Proyeksi Pertumbuhan Indonesia Tahun 2014 Sebesar 6,4 persen
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2014 diharapkan mencapai 6,4 persen. Hal tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pengantar keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN 2014 dan Nota Keuangannya di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Jumat (16/8) sore. Asumsi inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar, suku bunga, harga minyak mentah, dan lifting minyak bumi dan gas bumi menjadi butir lain yang tekankan Presiden RI.

Laju inflasi pada tahun 2014 akan dijaga pada kisaran 4,5 persen. Hal ini dilaksanakan dengan pembauran kebijakan fiskal dan moneter yang tepat sambil diikuti usaha untuk tetap menjamin kelancaran dan ketersediaan kebutuhan masyarakat, serta kebijakan ketahanan pangan. Nilai tukar rupiah, Presiden menambahkan, akan dijaga pada kisaran 9750 rupiah terhadap satu dollar Amerika Serikat. “Melalui kebijakan moneter yang berhati-hati, kita menjaga stabilitas ekonomi dan stabilitas tingkat nilai tukar rupiah yang realistis,” ujar Presiden SBY.

Untuk asumsi suku bunga, pemerintah akan terus menjaga kesehatan fundamental ekonomi dan fiskal, agar instrumen Surat Utang Negara tetap memiliki daya tarik yang tinggi bagi investor. “Asumsi rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan, disusun pada tingkat 5,5 persen,” Kepala Negara menjelaskan.

Poin kelima terkait asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dengan mempertimbangkan berbagai faktor utama, asumsi rata-rata harga minyak mentah Indonesia ada pada angka 106 dollar Amerika Serikat per barel.

Terakhir, asumsi lifting minyak mentah dan lifting gas bumi, pemerintah memperkirakan lifting minyak mentah mencapai 870 ribu barel per hari, sementara lifting gas bumi mencapai 1.240 ribu barel setara minyak per hari. “Beberapa tahun terakhir ini, kapasitas produksi kedua sumber daya alam itu menunjukkan penurunan, terutama disebabkan faktor usia sumber yang semakin kurang produktif. Namun demikian, Pemerintah terus berupaya untuk mengatasinya,” Presiden RI mengatakan.

Pada bagian lain pidatonya, SBY menyampaikan total anggaran pendapatan negara sebesar Rp 1.662,5 triliun dan jumlah belanja negara sebesar Rp 1.816,7 triliun, maka RAPBN tahun 2014 direncanakan oleh pemerintah tetap ekspansif. “Dengan defisit anggaran sebesar Rp154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB. Jumlah defisit anggaran dalam RAPBN tahun 2014 tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan target defisit anggaran dalam APBNP tahun 2013 yang mencapai 2,38 persen dari PDB,” Presiden SBY menjelaskan.

Penurunan defisit anggaran ini penting dilakukan untuk mewujudkan anggaran yang lebih sehat dan berimbang di masa yang akan datang. Langkah ini, SBY menambahkan, merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal, namun tetap memberikan ruang bagi ekspansi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. “Sebagai Kepala Pemerintahan yang insya Allah akan mengakhiri tugas di akhir Oktober tahun depan, saya tidak ingin memberikan beban kepada Presiden pengganti saya beserta pemerintahan yang dipimpinnya untuk membiayai defisit anggaran,” ujar Presiden SBY.

Pemerintah akan menggunakan sumber-sumber pembiayaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Langkah itu diambil dengan tetap berorientasi pada pembiayaan yang terjaga dan berkelanjutan, serta dengan menjaga resiko fiskal yang minimal. “Sumber utama pembiayaan dalam negeri akan tetap berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), sedangkan sumber pembiayaan luar negeri berasal dari penarikan pinjaman luar negeri berupa pinjaman program dan pinjaman proyek,” kata SBY.

Pemerintah mengupayakan penurunan rasio utang terhadap PDB pada akhir tahun 2014 menjadi sekitar 22-23 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pemerintah negara-negara berkembang lainnya, yang mencapai 33 persen terhadap PDB. “Rasio utang pemerintah terhadap PDB yang rendah itu menjadi salah satu indikasi semakin kuatnya struktur ketahanan fiskal nasional. Hal ini juga sejalan dengan upaya kita untuk mencapai kemandirian fiskal yang berkelanjutan,” SBY menegaskan.

Upaya ini memberi dampak kepada perbaikan peringkat utang pemerintah yang saat ini telah berada pada posisi investment grade. Untuk mempertahankan posisi itu, pemerintah senantiasa menjaga pengelolaan utang yang hati-hati, transparan, dan kredibel, sesuai dengan standar internasional.

presidengoid 


IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DAN KEBIJAKAN LOKAL DI ACEH



Oleh : Marzuki Alie

Beberapa waktu belakangan ini, perhatian masyarakat kembali mengarah ke Aceh. Perhatian tersebut muncul bukan karena bencana gempa bumi, tsunami atau munculnya kelompok separatis di wilayah ini, namun oleh disahkannya QanunNo.3tahun 3013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, yang mengadopsi lambang dan bendera yang mirip simbol Gerakan Aceh Merdeka, sebagai lambang dan bendera Aceh. Dengan peristiwa ini, masyarakat dan Pemerintah kemudian kembali bertanya, apakah yang diinginkan oleh masyarakat Aceh telah difahami oleh Pemerintah Daerahnya? Sebab kebijakan implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal di Aceh, seperti disahkannya Qonun No. 3 tahun 3013, justru mengundang keraguan dari masyarakat Aceh sendiri.

Tidak lepas dari pengesahan Qanun, yang pada saat opini ini ditulis masih dievaluasi oleh Pemerintah Pusat, patut kita cermati kembali pemikiran mengenai makna implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal di Aceh

Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Aceh khususnya, sangat menginginkan kembali hadirnya kejayaan “Tanah Rentjong” sebagaimana kejayaan Kerajaan Samudera Passai di abad ke-14. Kesultanan Passai atau Samudera Passai, adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang kayadan makmur, yang amat disegani oleh penjajah Barat maupun negara-negara wilayah Asia Tenggara. Masa kejayaan Samudera Passai, sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara dengan julukan “Serambi Mekkah” inilah, yang kemudian menjadi model bagi masyarakat Aceh untuk diwujudkan kembali di masa sekarang.

Berbagai diskusi, seminar, dan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mewujudkan kejayaan Aceh, termasuk implementasi hukum Islam dan berbagai kebijakan lokal terkait otonomi daerah. Tidak terkecuali Seminar Internasional Samudera Pase di Kota Lhokseumawe yang saya hadiri beberapa waktu lalu, juga bertujuan untuk menggali kembali peradaban Islam dan peran strategis Aceh sebagai pusat pembaruan menuju tata kehidupan yang lebih Islami

Politik Islam

Berbicara mengenai upaya implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal Aceh, tentu saja tidak lepas dari berbicara mengenai Islam sebagai “Politik Islam” (Siyasah Islamiyah). Jangan keliru dengan istilah “IslamPolitik” yang menempatkan Islam sebagai “objek politik”, misalnya menggunakan simbol-simbol Islam untuk kepentingan politik praktis pada partai-partai tertentu. Politik Islam memiliki pengertian lebih luas, mengandung pemikiran yang bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, kepercayaan, hukum, dan sebagainya, hingga tata-cara hidup bernegara.Para orientalis Barat pun mengakui, Islam lebih dari sekadar agama, namunjuga mencerminkan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system).Bahkan boleh dikatakan bahwa keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.



Meskipun pada beberapa puluh tahun belakangan ini ada sementarakalangan ummat Islam yang mengklaim diri sebagai kalangan “modernis”, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, yaitu Islam dan politik, namun seluruh gagasan pemikiran Islam sesungguhnya dibangun diatas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selarasdan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.Pemikiran tentang pemisahan Islam dan politik yang berkembang sebagai pemikiran “Islam politik”, yang ujung-ujungnya tetap saja menggunakan Islam sebagai simbol gerakan politik, sesungguhnya berkembang dari paham “sekularisme” yang muncul sejak era Revolusi Prancis. Sejak Revolusi Perancis,agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara,yaitu bahwa gereja harus terpisah dari negara.Namun demikian, Islam masih tetap pada “penyatuan Islam dan politik”sejak zaman Nabi hingga kini, bahkan “pemisahan Islam dan Politik” kemudian menjadi tantangan besar bagi ummat Islam dalam menjalankan keislamannya secara kaffah.

Menurut para ulama muslim, yang menjadi tumpuan dalam siyasah islamiyah, setidaknya adalah pertama, untuk menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia (harasatud din wa siyasatud dunya) dalam satu tarikan nafas. Kedua, pendekatan kebijakan yang bertumpu pada prinsip yaitu kebijakan pemerintah atas rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan rakyat (tashorruful imam ‘alar ra’iyah manuthun bil mashlahah). Kemaslahatan rakyat yang menjadi kewajiban pemerintah berwujud perlindungan atas hak-hak dasar rakyat yang terakumulasi dalam lima hak, yaitu: perlindungan agama (hifdhud-din), perlindungan jiwa (hifdhun-nafs), perlindungan akal (hifdhul-aql), perlindungan kekayaan (hifdhul-mal), dan perlindungan reproduksi (hifdhun-nasl). Perlindungan terhadap lima hak inilah yang menjadi tanggungjawab terhadap berdirinya sebuah pemerintahan (khususnya pemerintahan Islam) dengan mengelaborasi konsep dan metode implementasi hukum-hukum Islam. Sementara itu, rakyat atau ummat, mempunyai kewajiban patuh dan taat kepada pemerintah, selama pemerintah pemegang kekuasaan tetap menjalankan amanat dan berbuat keadilan, sebagaimana disebutkan pada QS. An-Nisa ayat 58

Dua kewajiban inilah, (yaitu kewajiban pemerintah terhadap rakyat dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah), yang harus dipenuhi sehingga tercipta ruang siyasah islamiyah bagi terciptanya peradaban ummat. Tata-kelola pemerintahan harus bertumpu pada kesetaraan dan harmonisasi antara ulama’, umara’ dan rakyat secara sinergis, yang masing-masing mempunyai kewajiban dan hak dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sesuai dengan prinsip menjaga tradisi lama yang baik dan menyempurnakan dengan yang baru yang lebih baik. Inilah inti dari politik Islam yang bertujuan untuk kemaslahatan kehidupan ummat, baik di dunia maupun di akhirat

Kebijakan Lokal

Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Aceh menginginkan berbagai upaya untuk mengembalikan kejayaan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, menjaga dan menegakkan ajaran Islam yang moderat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini tentu saja tidak mudah, sebab cakupannya sangat luas, antara lain: pertama, mengatur peri-kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, kedua, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, dan ketiga,menciptakan sumberdaya manusia yang unggul dan berkualitas. Sementara, kita mendapatkan problem-problem utama yang harus diselesaikan, seperti kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kerawanan sosial, keamanan, aparat birokrasi, dan lain-lain.


Mewujudkan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, menjaga dan menegakkan ajaran Islam moderat yang tidak mudah, tentu memerlukan strategi yang baik. Strategi tersebut harus mencakup banyak hal, misalnya strategi struktural (regulasi) maupun strategi sosio-kultural.

Keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara yuridis formal telah mendapat tempat dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 29.Di Aceh, setelah mengalami beberapa pemberlakuan UU, saat ini berlaku UU otonomi khusus bagi Aceh. Pasca Reformasi,Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian UU No. 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Selanjutnya, UU No. 18 Tahun 2001 dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Salah satu aspek yang menjadi bagian dari kerangka otonomi khusus di Aceh adalah pemberlakuan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tradisi dan norma yang hidup masyarakat Aceh.Namun dalam bidang hukum pidana, hukum pidana Islam,baru diterapkan terhadap beberapa tindak pidana tertentu yang terjadi di Provinsi Aceh dan dituangkan dalam Qanun Aceh (peraturan sejenis Peraturan Daerah)yaitu larangan mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya, larangan melakukan perbuatan maisir (perjudian), dan larangan melakukan khalwat (mesum). Beberapa Qanun lain juga sedang dibahas, termasuk Qanun No. 3tahun 3013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Melihat beberapa Qanun yang sudah ada maupun yang sedang dipersiapkan, sesungguhnya upaya pelaksanaan syari’at Islam telah banyak diupayakan. Namun, pelaksanaan syariat Islam yang terwujud dalam Qanun tersebut belum benar-benar berhasil dalam membentuk masyarakat yang Islami. Pada tahun 2012 saja, telah terjadi sebanyak 3086 kasus pelanggaran hukum Islam yang terjadi di Aceh. Kasus tersebut terdiri atas 2.318 kasus pelanggaran akidah ibadah dan syiar islam, 51 kasus khamar, 78 kasus maisir, dan 693 kasus khalwat.Ini artinya, pembentukan berbagai regulasi ini tidak cukup. Perlu strategi sosio-kultural yang seiring dengan pemberlakuan hukum positif tadi. “Dakwah” sosio-kultural inilah yang menjadi kunci dalam membangkitkan kejayaan ummat.

Makna dakwah sangat luas. Dakwah adalah seruan (ajakan) kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang buruk menjadi lebih baik dan sempurna. Tak sekadar berceramah, bahkan terkadang tidak harus dengan mengajak. Melalui keteladanan, akhlak dan perilaku baik, bisa jadi kita telah berdakwah dan mendapat pahala-Nya. Dalam konteks Aceh, Dakwah inilah yang harus dilakukan terus menerus, sehingga masyarakat Aceh memiliki pemahaman yang sama terhadap implementasi hukum Islam dan kebijakan lokal yang hendak diterapkan

Penutup

Melihat kejayaan Aceh di masa lalu dengan ciri khas masyarakatnya yang religius, sesungguhnya tidak ada yang meragukan “keislaman Aceh”. Di sinilah muncul Kesultanan Islam pertama di Nusantara, dan Pemerintah telah memberikan status otonomi khusus kepada masyarakatnya. Namun, kita melihat bahwa cita-cita mewujudkan Aceh sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, hingga kini masih banyak persoalan, baik dalam elaborasi konsep, implementasi hukum sampai perilaku ummat. Beberapa Qanun yang diberlakukan, adalah upaya yang baik untuk mewujudkan cita-cita tersebut, meskipun dalam beberapa hal justru menimbulkan keraguan seperti pada Qanun tentang bendera dan lambing


Sesungguhnya di Aceh, masih banyak persoalan ummat yang harus diselesaikan. Persoalan ummat tidak selalu berupa pelanggaran terhadap hukum positif (Qanun) semata, namun juga permasalahan lain, terutama masalah akhlak dan perilaku ummat. Artinya, konsentrasi terhadap masalah-masalah penerapan hukum positif, tidaklah cukup mampu membangkitkan kejayaan Aceh, tanpa didukung kegiatan dakwah secara massif. Dakwah yang dilakukan terus menerus, Insya Allah, akan membuka pemahaman masyarakat Aceh, sehingga keinginan masyarakat Aceh benar-benar dimengerti oleh Pemerintah Daerah tanpa harus memaksakan Qanun yang bersifat simbolik, seperti lambang dan bendera. Wallahu’alam Bishawab.** 

URGENSI KEHADIRAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN BAGI TKI



Dr. Marzuki Alie

Momentum May Day yang diperingati seluruh dunia tiap tanggal 1 Mei, menjadi peringatan bersama akan potret kehidupan buruh, baik buruh nasional maupun buruh migran. Berbagai tuntutan seperti hapus overcharging, hapus terminal TKI, berlakukan kontrak mandiri dan kepastian revisi UU TKI No. 39 Tahun 2004 sesuai standar konvensi migran yang telah diratifikasi pemerintah pada 2012 lalu, mewarnai aksi buruh di tanah air. Secara fakta, permasalahan TKI memang ibarat benang kusut yang harus diurai. Sistem perekrutan, percaloan hingga absennya perjanjian kerja yang berkualitas menjadi masalah bangsa yang kian runyam. Perlu kebijakan perlindungan nasional yang berkualitas, yang dapat menjadi payung hukum bagi TKI di berbagai negara tujuan. Meski demikian, tentu kebijakan ini tidak akan mempunyai perspektif perlindungan yang baik, selama TKI masih menjadi outsider dalam proses pembuatan kebijakan. Partisipasi mereka secara politik adalah sebuah keharusan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah kebijakan perlindungan yang berkualitas, sangat dibutuhkan oleh TKI yang bekerja di banyak negara tujuan, terutama Malaysia dan Arab Saudi sebagai negara tujuan utama. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) 2012, penempatan TKI mencapai 494.609 dengan klasifikasi TKI formal 258.411 dan TKI informal 236.198. Sedangkan komposisi TKI laki-laki adalah 214.825 (43%) dan perempuan 279.784 (57%). BNP2TKI menuliskan bahwa telah terjadi penurunan jumlah penempatan dibanding tahun 2010 dan 2011, karena adanya moratorium penempatan TKI Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke negara Arab Saudi, Malaysia, Yordania, Kuwait dan Syria.

Persentase TKI yang didominasi oleh TKI perempuan di banyak negara tujuan, seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia untuk menjamin keselamatan mereka dalam bekerja. Pasalnya, mayoritas TKI perempuan ditempatkan pada jenis kerja domestik dimana tingkat keselamatan kerja mereka sangat terbatas untuk diketahui publik. Malaysia dan Arab Saudi, adalah negara tujuan terbesar bagi TKI perempuan. Ironi-nya, kedua negara tersebut tidak mempunyai kebijakan perlindungan yang berkualitas bagi pekerja di sektor domestik. Tidak hanya itu, kehidupan sosial politik bahkan ekonomi TKI pun dibelenggu dengan tidak diperbolehkannya keluar rumah, berorganisasi hingga pengupahan minim dan tidak transparan.

Segala permasalahan yang terjadi pada TKI di luar negeri, baik kekerasan secara fisik, psikis dan ekonomi adalah refleksi dari kebijakan pemerintah yang belum berperspektif perlindungan. DPR RI mempunyai perhatian besar terhadap kualitas perlindungan bagi TKI di luar negeri dengan terus mengedepankan point perlindungan di banding penempatan dalam RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang tengah di bahas. Selain itu, kerjasama dengan pihak insfrastruktur seperti LSM pun dilakukan sebagai langkah nyata keseriusan lembaga legislatif melindungi TKI.

Problem TKI
Berbicara masalah TKI, maka ada beberapa tahap penempatan yang perlu diurai, yaitu TAHAP PRA PENEMPATAN (tahap sebelum TKI/TKI perempuan berangkat), TAHAP PENEMPATAN (ketika mereka berada di negara tujuan) dan terakhir TAHAP PURNA PENEMPATAN (ketika TKI/TKI perempuan sudah kembali ke tanah air). Mayoritas permasalahan yang dihadapi oleh TKI bersumber dari dalam negeri, yaitu pada masa pra penempatan. Beberapa kasus terjadi, seperti pemalsuan identitas calon TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang tidak sesuai dengan bidang kerjanya, minimnya kemampuan berbahasa dan memahami budaya setempat, buruknya informasi, pelayanan dan perlakuan terhadap calon TKI dari aparatur birokrasi juga pihak PT. Tidak hanya itu, potret penipuan, suburnya percaloan mewarnai tahap pra penempatan.

Dampak dari ini semua adalah tercorengnya wajah bangsa Indonesia dengan justifikasi bahwa TKI tidak berkualitas, kalah saing dibanding negara lain seperti Philiphina. Lebih dari itu, mekanisme pra penempatan yang nyatanya merugikan banyak calon TKI, menyebabkan mereka memutuskan untuk pergi dengan jalur illegal, tanpa dokumen resmi negara, seperti melewati perbatasan Indonesia-Malaysia untuk bekerja. Melihat banyaknya kasus terjadi di masa pra penempatan, maka pengaturan ketat mulai dari format dan kualitas pelatihan, charge biaya keberangkatan hingga fiksasi identitas diri yang benar, perlu diatur dalam UU yang ada.

Selain tahap pra penempatan, kita juga mengenal tahap penempatan. Para TKI yang sudah sampai di negara tujuan, seharusnya bekerja sesuai kontrak kerja yang mereka tandatangani di tanah air. Faktanya, seringkali para TKI perempuan ditempatkan di tempat yang berbeda dari kontrak kerja yang ada. Belum lagi ada juga TKI perempuan yang dipaksa untuk bekerja di dua rumah sekaligus dengan pengupahan yang tidak jelas. Biasanya rumah dari keluarga si majikan, atau kerabat dekat sang majikan. Hal ini tentu menjadi permasalahan yang serius. Memang, ada beberapa negara seperti Hongkong dan Singapura yang mempunyai aturan perlindungan yang baik bagi pekerja migran. Mekanisme one day off juga diatur sebagai hak para pekerja untuk menikmati masa libur mereka, tanpa beban kerja. Meski demikian, tentu pemerintah Indonesia tidak bisa bergantung pada aturan hukum negara lain. Kita harus memiliki kebijakan perlindungan berkualitas sebagai payung hukum bagi para TKI di luar negeri.

Dalam menyelesaikan permasalahan TKI di tahap ini, perlu juga upaya diplomasi parlemen. Salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah mengangkat masalah-masalah TKI di forum-forum internasional, seperti Asian Parliamentary Assembly (APA), Asean Inter Parliamentary Assembly (AIPA) dan Parliamentary Union on OIC Member State (PUIC). Akhirnya menjadi resolusi, di mana disebutkan bahwa pemerintah yang menerima buruh migran, hendaknya memberikan perlindungan dengan hukum yang sama yang berlaku di negara asal TKI tersebut.

Pertanyaan berikutnya adalah, sudahkah tatanan hukum bagi perlindungan TKI/TKW di dalam negeri berkualitas, sehingga bisa menjadi role model bagi negara penerima? Ini yang perlu dijawab dan direalisasikan dalam bentuk kebijakan perlindungan nasional. Terakhir adalah tahap purna penempatan. Kontribusi TKI pada perekonomian Indonesia dalam memperoleh cadangan devisa sangat besar. Bank Indonesia tahun 2008 mencatat jumlah remitansi yang diperoleh TKI sebesar US$ 6,6 miliar, kemudian di tahun 2009 sebesar US$ 6,617 miliar dan hingga September 2010 mencapai US$ 5,03 miliar. Tidak salah kemudian, bahwa kehidupan mereka pun harus diperhatikan oleh negara, bahkan ketika mereka kembali ke tanah air. Sosialisasi penggunaan uang yang mereka hasilkan ketika bekerja untuk menjadi modal usaha, perlu dilakukan. Ini untuk memupuk jiwa kemandirian mereka. Dengan demikian mereka akan menjadi TKI purna yang sukses. Bukan hanya memiliki orientasi untuk bekerja kembali ke luar negeri, namun juga dapat menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dengan uang yang mereka hasilkan dari bekerja di luar negeri sebagai TKI.

Selain aspek ekonomi, TKI purna juga mengalami masalah sosial seperti dilaporkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pendidikan anak yang terlantar, rentan terhadap masalah perceraian keluarga, perkembangan anak yang terganggu karena hanya mendapatkan binaan hanya dari salah satu orang tuanya, menjadi potret miris pada tahap ini. Tugas DPR dan juga kita bersama untuk kemudian mengawasi jalannya perlindungan, baik sejak pra hingga purna penempatan sesuai dengan substansi isi kebijakan perlindungan yang baik.

Kebijakan Perlindungan dari Masa ke Masa
Sebelum tahun 2004, Indonesia tidak mempunyai kebijakan perlindungan dalam tatanan ketenagakerjaan luar negeri. Sejak masa Orde Baru, pemerintah Indonesia mengatur mekanisme penempatan TKI di luar negeri hanya melalui Peraturan Pemerintah No.4 di tahun 1970 tentang Pengerahan Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN). Sejak kehadiran PP ini, pihak swasta mempunyai wewenang untuk mengatur proses pengiriman TKI ke luar negeri selain pemerintah.  Mekanisme pembagian wewenang pengiriman pada swasta menjadi tidak salah, selama mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi di jalankan dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Ini yang patut kita lihat, sudahkah PP saat itu berperan dalam melindungi TKI yang akan bekerja di luar negeri?

Di tahun 1988, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri No.5 tahun 1988, di mana saat itu tingkat migrasi internasional tenaga kerja Indonesia semakin tinggi. Ketika reformasi hadir di tahun 1998, pemerintah Indonesia juga belum mempunyai mekanisme perundang-undangan untuk melindungi TKI. Krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1997, menyebabkan target pengiriman TKI meningkat tajam dari 500.000 orang pada Pelita V menjadi 1.250.000 di Pelita VI. Hadir dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja di era ini, yaitu No.204 tahun 1999 tentang penempatan TKI ke luar negeri dan No. 92 tahun 1998 skema asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran. Namun, bahasan aspek operasional lebih mendominasi dibanding aspek perlindungan dalam aturan tersebut. 

Meningkatnya jumlah TKI perempuan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, membuat kita menyadari betapa penting peran perempuan dalam bidang ketenagakerjaan. Sayangnya, perlindungan bagi TKI perempuan masih sangat minim. Keputusan Presiden No.109 tahun 2001 yang dikeluarkan oleh Gus Dur, memang menghadirkan satu terobosan baru dengan dibentuknya Direktorat baru di Kementerian Luar Negeri, yaitu Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI). Meski demikian, keseriusan kita dalam upaya melindungi TKI di luar negeri yang mayoritas perempuan, masih dipertanyakan karena belum mempunyai UU.

Barulah di tahun 2004 pada masa kepemimpinan Presiden Megawati, Indonesia memiliki UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN). Dalam perjalanannya, UU ini mendapat kecaman dari masyarakat luas dan kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak tahun 2010. Hal ini dikarenakan UU tersebut tidak mempunyai perspektif perlindungan dan lebih di dominasi aspek penempatan serta keberpihakan pada peran kerjasama swasta dan pemerintah.

Secara pribadi, saya menilai bahwa point terpenting yang perlu diletakkan dalam RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) sebagai ganti dari UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN, adalah komitmen nasional untuk melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizontal dengan proporsi peran dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat, Daerah, BNP2TKI dan PPTKIS. Pelaksanaan kebijakan nasional pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri harus bersifat menyeluruh dan terintegrasi. Kejelasan porsi dan tanggung jawab di atas, perlu dijalin dalam rangka kemitraan. Hal ini karena TKI yang bekerja di luar negeri, sudah tentu menyandang nama baik bangsa, martabat bangsa dan pemerintahan Indonesia di mata internasional.

Penutup

Kebijakan perlindungan dan penempatan yang berkualitas tentu menjadi impian dan idaman bagi banyak pihak, utamanya TKI/TKW di luar negeri. Indonesia dapat berkaca dari pemerintah Filiphina yang mempunyai UU berkualitas di bidang tenaga kerja luar negeri, yaitu Omnibus Rules and Regulations Implementing the Migrant Workers and Overseas Filipinos Act of 1995, atau lebih dikenal dengan nama Republic Act No. 8042. UU ini hadir dari proses legislasi yang partisipatif.

Penyelesaian RUU PPILN diharapkan menjadi prioritas utama DPR RI di tahun 2013 ini. Hal ini untuk mencegah terjadinya pembahasan ulang dari awal mengenai skema perlindungan TKI di periode DPR RI mendatang. Sebagai pimpinan DPR RI, saya mengajak seluruh jajaran anggota DPR RI untuk menganggap bahwa pengesahan RUU ini sebagai obsesi bersama. Hal ini mengingat pentingnya perlindungan WNI yang bekerja sebagai TKI/TKW di luar negeri.

Tuntutan para buruh, termasuk buruh migran di moment May Day 2013 semoga membuka kesadaran bersama bahwa kebijakan perlindungan yang ada, belum dapat melindungi mereka di dunia kerja. Kerjasama suprastruktur pemerintah dengan infrastruktur, tentu akan sangat baik guna mewujudkan kebijakan perlindungan yang berkualitas. Hal yang lebih penting lagi setelah revisi UU perlindungan selesai, adalah mekanisme pengawasan dan pengenaan sanksi yang tidak pandang bulu, baik pada pihak pemerintah, maupun pihak swasta.

Permasalahan TKI/TKW adalah masalah bersama, termasuk DPR. Penghormatan dunia atas martabat tenaga kerja Indonesia, bisa tercermin dalam UU yang komprehensif memberikan perlindungan terhadap para penyumbang devisa negara ini. Perlu ada sikap konsisten dari pemerintah dan seluruh jajarannya dari Pusat hingga Desa dalam melaksanakan UU kebijakan perlindungan. Kerjasama dengan publik pun dibutuhkan dalam bidang pengawasan. Sehingga, kebijakan perlindungan tenaga kerja Indonesia benar-benar dapat melindungi mereka, baik ketika masih berada di dalam negeri maupun sudah berada di negara tujuan. *

DESENTRALISASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI DAERAH


Dr Marzuki Alie

Berbagai masalah seputar desentralisasi dan pengelolaan sumberdaya, khususnya sumberdaya alam, di daerah, masih cukup mendominasi berbagai tema diskusi yang sering saya hadiri. Namun demikian, tema-tema seperti ini memang sangat penting untuk terus-menerus dielaborasi demi perbaikan sistem otonomi daerah. Sebagaimana tema opini saya di majalah Parlementaria Edisi 100 TH.XLIII 2013, saya kembali mengetengahkan tema tentang daerah.

Desentralisasi


Konsep desentralisasi di Indonesia, awalnya semata-mata merupakan “reaksi” atas praktik pembangunan nasional Orde Baru yang sentralistik dan sekedar sebagaituntutan yang harus diterapkan dengan diimplementasikannya konsep otonomi daerah secara luas. Namun demikian, paradigma ini mestinya sudah saatnya dirubah, bukan hanya sekedar reaksi atas praktik pembangunan di era Orde baru, namun lebih kuat dari itu, yaitu untuk kesejahteraan rakyat di daerah.

Paradigma yang berkembang selama ini tentang desentralisasi adalah: pertama, desentralisasiitu selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis, dengan adanya pengaturan kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kedua, mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan serta mendorong demokratisasi di tingkat lokal, ketiga, menciptakan efisiensi pemerintahan,keempat, kepentingan rakyat di daerah-daerah yang memiliki kekhususan-kekhususan tertentu dapat tertangani dengan lebih baik, dan kelima, pembangunan berjalan lebih baik dan terarah, karena dilakukan langsung oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat daerah.



Menguatkan paradigma tersebut, filosofi desentralisasi yang juga menjiwai setiap UU tentang daerah, mulai dari UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah (yang berlaku di jaman Orba), kemudian UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan beberapa RUU lain adalah, pertama, akan muncul kemandirian yang digerakkan oleh kreativitas dan inovasi daerah dalam mengoptimalisasikan berbagai potensi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam, untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan daerah. Kedua, tata hubungan antara pusat-daerah diharapkan akan menjadi lebih proporsional, harmonis dan produktif dalam rangka penguatan integrasi (persatuan dan kesatuan) bangsa dan pembangunan nasional.

Menggali makna desentralisasi ini juga dapat kita lihat lebih detail, jika kita membandingkan pokok-pokok pikiran antara UU No. 5 tahun 1974 dengan UU No. 22 tahun 1999, dan UU No. 32 tahun 2004. Perbedaan itu intinya adalahtarik menarik pada sisi terlalu desentralistis atau masih sentralistis. Kalau UU tahun 1974 dianggap lebih sentralistis, UU tahun 1999 sangat desentralistis (karena euforia desentralisasi di era reformasi), UU tahun 2004 kembali dibawa ke arah lebih sentralistis. Hal ini terjadi antara lain, akibat pelaksanaan UU 1999 yang antara lain karena kesiapan/kekurangsiapan daerah. Bahkan, ketika UU No. 32 tahun 2004 yang direvisi melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008, juga dipandang masih belum cukup memadai untuk merealisasikan paradigma desentralisasi tersebut.


Merealisasi paradigma desentralisasi ini terus dilakukan seiring dengan berbagai masalah di daerah. Sebab, desentraslisasi yang dilakukan terhitung sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, masyarakat masih merasa “tidak ada peningkatan kesejahteraan”. Pengelolaan sumberdaya alam daerah juga banyak terkendala. Namun demikian, revisi UU ini tetap dilakukan oleh DPR bersama Pemerintah, agar mendapat solusi yang tepat, yang mampu menjawab berbagai permasalahan daerah. Bahkan saat ini pun, DPR bersama Pemerintah sedang melakukan revisi terhadap UU tentang Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi 3 (tiga) RUU yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pilkada dan RUU tentang Desa.

Mengenai RUU Pemerintahan Derah ini, secara substansi, sebenarnya terdapat 22 isu strategis yang teridentifikasi dan memerlukan pemikiran mendalam untuk didiskusikan. Isu-isu ini antara lain menyangkut pembentukan daerah otonom,  pembagian urusan pemerintahan, daerah berciri kepulauan, pemilihan kepala daerah, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, perangkat daerah, pembangunan daerah, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan daerah, dan tindakan hukum terhadap aparatur daerah. RUU Pemda hanya memuat pengaturan-pengaturan secara umum, sedangkan pengaturan lebih lanjut secara rinci akan diatur masing-masing dalam UU tentang Pilkada dan UU tentang Desa.

Pengelolaan Sumberdaya Daerah


Membahas permasalahan daerah, paling tidak ada 4 hal pokok yang sampai saat ini masih menjadi masalah. Pertama, apakah di era otonomi daerah saat ini, Peraturan Daerah (Perda) di bidang pengelolaan sumberdaya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Kedua, bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumberdaya alam di daerah? Ketiga,bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumberdaya alam dalam proses perijinan? Keempat, bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah?

Pertama, tentang regulasi.Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi, yang dijabarkan sesuai PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa kontrol, baik dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah terhadap peraturan perundang-undangan daerah yang muncul sebagai penjabaran UU diatasnya, sangat lemah. Sehingga sangat mungkin, peraturan-peraturan daerah ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU di atasnya tersebut.

Dengan demikian, untuk penyusunan berbagai regulasi di daerah, harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti political willPemerintah Daerah; kapasitas kelembagaan dan kebijakan (Good Environment Governance); adanya persepsi, sikap dan perilaku egosentrisme/sektoral; keterlibatan elemen masyarakat; eksploitasi SDA tanpa diimbangi upaya konservasi; dan lain-lain, sampai masalah lemahnya penegakan hukum.

Kedua, penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam di daerah masih cukup banyak kendala. seperti: fragmentasi masyarakat akibat menguatnya ego-sektoral, inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan daerah sehingga memunculkan disharmoni, political willlemah dan sumberdaya manusia lemah.

Namun demikian, penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam, seharusnya dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada berbagai perbaikan. Paling tidak, ada 6 perbaikan dan kemampuan yang harus dilakukan dan dimiliki oleh daerah: pertama,lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective representative system); kedua, peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan profesional; ketiga, Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang kokoh; keempat, masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control (public watchdog)dan penekanan (pressure); kelima,desentralisasi dan lembaga perwakilan daerah yang kuat serta didukung oleh local civil societyyang juga kuat (democratic decentralization); dan keenam, sdanya mekanisme resolusi konflik. Pada intinya, penguatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam ini, minimal harus melibatkan tiga sisi, yaitu kapasitas kelembagaan dan kebijakan (good environment governance),etika dalam eksploitasi SDA (eco-bisnis), dan kontrol masyarakat.

Ketiga, penerapan dokumen dan proses perijinan. Proses perijinan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin. Dalam proses perijinan ini diperlukan beberapa dokumen yang terkait: feasibility study; Peraturan Perundangan yang berpihak pada lingkungan hidup; jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi penyelenggara kebijakan; ruang aspirasi dan partisipasi semua pemangku kepentingan; dan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pelaku lingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.

Tahap ini sangat berkaitan dengan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.

Keempat, peningkatan koordinasi kelembagaan. Koordinasi yang harus dilakukan mencakup koordinasi kelembagaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan; koordinasi dalam pengelolaan SDA, termasuk kebijakan operasional dan koordinasi dalam penegakan hukum; dan koordinasi kewenangan mengatur dan mengurus pengelolaan SDA oleh daerah.

Dalam mengelola SDA, koordinasi antar departemen/sektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan SDA, tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain.

Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur soal koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka pengelolaan SDA. Karenanya, diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah.

Penutup


Akhirnya, saya ingin menyampaikan kesimpulan penutup, bahwa: dinamika desentralisasi sejak era-reformasi sampai sekarang menunjukkan bahwa filosofi desentralisasi tidak mudah diterapkan, utamanya melalui peraturan perundang-undangan sampai dengan implementasi dan pengawasannya. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan tentang daerah yang terus mengalami evaluasi, bahkan revisi UU. Dengan demikian, proses desentralisasi ini sesungguhnya belum selesai dan masih perlu perbaikan.

Terkait dengan pengelolaan SDA di daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan, harus berprinsip pada pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Karena, pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

Salah satu kesepakatan yang telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah adalah memecah UU Pemerintahan Daerah kedalam 3 UU, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Desa dan UU tentang Pilkada. Diharapkan melalui pemecahan UU Pemerintahan Daerah kedalam tiga undang-undang tersebut akan memberikan ruang pengaturan yang lebih rinci dan komprehensif dari masing-masing isu tersebut sehingga memberikan kontribusi pada kelancaran jalannya roda pemerintahan daerah secara keseluruhan

URGENSI UU KELAUTAN DAN AGENDA PEMBANGUNAN NEGARA MARITIM



Oleh Dr. H. Marzuki Alie

Hari Kelautan Dunia atau World Ocean Day yang selalu diperingati pada tanggal 8 Juni, tahun ini mengambil tema besar Together We Have the Power to Protect the Ocean.Sebagaimana biasa, hari kelautan dunia yang kita peringati bulan Juni lalu, selalu dirangkaikan dengan kegiatan Hari Nusantara disertai workshop yang menampilkan pimpinan-pimpinan lembaga negara untuk memberikan pandangan mengenai kebijakan kelautan di Indonesia. Pada Majalah Parlementaria edisi ini, sebagaimana pada edisi 94 TH. XLII 2012 yang lalu, saya perlu menyampaikan opini penting mengenai kebijakan kelautan, khususnya terkait dengan penyelesaian RUU Kelautan di DPR-RI.

Sejak awal peradaban terbentuk, laut digunakan dalam tiga cara utama: untuk transportasi, kekuatan militer dan sebagai sumber makanan. Tiga cara ini makin meluas, termasuk sebagai sumber energi, tambang mineral, dan sebagainya. Demikian pula Indonesia. Negara kita Indonesia yang sebagian wilayahnya berupa laut dan memiliki ekosistem perairan laut yang beraneka ragam, sangat dibutuhkan untuk memperbaiki peradaban bangsa, sehingga seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kemanfaatan terhadap laut kita harus kita manfaatkan sebesar-besarnya.

Ekosistem perairan laut dan pesisir yang dimiliki negara kita, dapat bersifat alamiah maupun buatan. Yang alami seperti  hutan bakau, terumbu karang, rumput laut, pantai pesisir, dll. Dan ekosistem buatan seperti, tambak, sawah pasang-surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan permukiman, dll. Dengan demikian pengelolaan ekosistem perairan laut menjadi kewajiban bagi negara untuk menjaga dijaga, utamanya demi perbaikan kehidupan rakyat, agar dapat memanfaatkan sumberdaya laut secara efesien dan efektif.

Diplomasi Kelautan

Upaya penguasaan, perlindungan dan pemanfaatan kekayaan laut, sejak Republik Indonesia berdiri, sebenarnya telah diupayakan melalui perjuangan diplomatik Indonesia dalam politik geostrategis berdasarkan paham kenusantaraan.Yaitu dengan disahkannya Deklarasi Djuanda(13 Desember 1957) oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS).Diakui, Deklarasi Djuanda inidipandang sebagai sebuah asertifisme diplomasi Indonesia,yang telah memberikan landasan strategis dalam mengelola politik kewilayahan nusantara,sebagai konsekuensi logis sebuah negara kepulauan ke depan.

Melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut ini, kepentingan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Djuanda menjadi kenyataan, yakni diakuinya lebar laut teritorial maksimal 12 mil laut dan konsepsi negara kepulauan serta sekaligus “menjungkirbalikkan”ketentuan batas lautan territorial warisan Pemerintah Kolonial Belanda seperti tercantum dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939”Stbl. 1939 No.442 artikel 1 ayat (1), yang membagi wilayah daratan Indonesia menjadi bagianterpisah dengan wilayah teritorialnya masing-masing. Namun demikian, dalam rangka menegakkan kedaulatan wilayah di laut,menguatkan potensi pengelolaan wilayah perairan, dan menjalankan hak dan tanggungjawab internasional berdasarkan regimeUNCLOS, kebutuhan bagi kehadiran sebuah hukum pengelolaan dan pembangunan kelautan nasional yang komprehensif,tetap menjadi menu legislasi yang strategis dan penting.Mandat UNCLOS harus menguatkan Indonesia dalam melaksanakan hak dan kewajiban, baik dalam lingkup nasional, regional dan internasional. Negara kita sudah melaksanakan semua mandat tersebut, yang diatur dalam kira-kira 20 UU sektoral.

Pada UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS misalnya, sudah dijabarkan semua hak dan kewajiban sebagai negara kepulauan. Dalam konteks pelaksanaan ketentuan UNCLOS, karena kita sudah meratifikasinya, Indonesia sudah melaksanakan dengan segenap aturan atau UU terkait. Kalaupun sepenuhnya belum optimal, itu terjadi karena UU-nya belum selesai, yaitu UU Kelautan yang sampai saat ini masih dibahas di DPR bersama Pemerintah. Namun demikian, kalaupun UU ini belum selesai, tidak terlalu menjadi masalah, sebab pengelolaan sebagai negara kepulauan sudah berjalan dan belum ada preseden klaim atau protes dari regime UNCLOS kepada RI. Namun demikian, UU Kelautan yang sedang dibahas ini sangat penting dalam konteks pembangunan Indonesia yang harus berbasis kelautan, infrastruktur yang memadai dan kepentingan pertahanan, eksploitasi sumberdaya laut untuk pembangunan. Dengan demikian UU Kelautan ini sesungguhnya sangat dinanti oleh masyarakat Indonesia.

Urgensi dan Hambatan Pembahasan RUU Kelautan

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,luas lautnya mencapai ¾ luas seluruh wilayahnya,letak geografisnya strategisdan dinamis dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia. Tentu saja, Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar dari sektor kelautan. Dengan demikian, untuk dapat mengelola wilayah laut dan sektor kelautan secara optimal, dibutuhkan upaya penegakkan kedaulatan dan pengamanan wilayah perairan Indonesia.Di sinilah urgensi UU tentang Kelautan ditemukan dalam rangka penataan pengaturan laut secara sistematis dan terpadu. Dalam konsepsi seperti ini, pembangunan Indonesia sebagai sebuah negara maritim menjadi pilihan yang sifatnya mandatoris ke depan.

DPR-RI sebagai lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, telah menetapkan politik legislasi yang sejalan dengan cita-cita pendiri bangsa dalam mengelola sektor kelautan berdasarkan UNCLOS. Semua diarahkan dalam mendukung visi pembangunan jangka panjang nasional yang di dalamnya pembangunan bidang kelautan diarahkan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional.

Kehadiran sebuah UU tentang Kelautan mencerminkan besarnya derajat kemauan politik negara dalam menetapkan politik pembangunan kelautannya. Dalam konteks kepentingan nasional, kehadirannyasekaligus juga menjadi wahana yang sangat kondusif dalam memperkokoh jati diri Indonesia sebagai negara maritim dalam rangka mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional. Dengan luasnya cakupan pengaturan dan irisan kepentingannya dengan beberapa sektor lainnya, kehadiran UU ini dapat menjadi salah satu masterpiece produk hukum yang dihasilkan oleh regime politik pemerintahan dewasa ini. DPR-RI mengambil posisi politik bahwa proses penyusunan undang-undang tentang kelautan,setidak-setidaknya harus memenuhi dua syarat substantif sebagai necessary condition dan satu syarat politik sebagai sufficient condition.

Pertama,perlunya menetapkan norma-norma pengaturan di dalam undang-undang tentang kelautan yang berbeda dan belum diatur dalam serangkaian peraturan perundang-undangan yang sudah ada.Kedua, norma-norma tersebut harus dapat berfungsi sebagai rujukan bagi norma-norma terkait yang telah diatur dalam  peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Dengan demikian, potensi benturan pengaturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dapat dihindarkan.Ketiga,terpenuhinya syarat politis melalui kelembagaan Prolegnas berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

RUU tentang Kelautan telah menjadi agenda prioritas tahunan Prolegnas pada tahun 2013 ini. Dengan demikian, proses agenda-setting bagi pembahasan
RUU tentang Kelautan masih menyisakan ruang yang sangat terbuka.Kalaupun misalnya proses tersebut tidak selesaitahun ini, DPR-RI dan Pemerintah harus tetap mencapai konsensus politik untuk menetapkan agenda pembahasan RUU tersebut ke dalam prioritas tahunan Prolegnas tahun 2014.Dengan demikian, jika RUU tentang Kelautan tidak masuk dalam prioritas tahunan Prolegnas pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR RI, harus melakukan sebuah terobosan politik sesuai dengan mandat Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ayat (2), khususnya huruf b: “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat: mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.”

Melalui instrumen inilah, Pemerintah dan DPR RI harus mampu mencapai konsensus politik untuk menetapkan isu pengaturan dalam RUU tentang Kelautan sebagai keadaan tertentu yang memiliki urgensi nasional. Dengan demikian, persoalan lambatnya penggodokan RUU tentang Kelautan sebenarnya menjadi tanggung bersama antara DPR-RI dan Pemerintah.

Sampai saat ini, komunikasi DPR dan Pemerintah sangat baik. Bulan Juni ini untuk pertama kalinya, kecuali pada pembahasan RUU APBN, seorang Menteri hadir di DPR untuk “mengejar-ngejar” penyelesaian RUU, sebab biasanya DPR-lah yang sering meminta Pemerintah segera menyelesaikan pembahasan. Menteri Kelautan dan Perikanan Cicip S. Soetardjo beserta jajarannya, hadir di ruang rapat pimpinan DPR bertemu dengan Ketua DPR, Ketua Baleg dan Ketua Komisi IV untuk memperjelas progres pembahasan RUU Kelautan. Dalam pertemuan ini, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kelautan, posisi RUU Kelautan yang saat ini masih dibahas, adalah RUU Prolegnas tahun ini yang berada pada nomor urut 62 sebagai RUU Prolegnas 2013. Berdasarkan surat nomor S.31.36/DEKIN.3/TU.210/I/2013 tanggal 31 Januari 2013, Dewan Kelautan secara resmi memintakan kepada Sekretaris Jenderal DPR-RI, DPD-RI, Badan Legislasi , DPR-RI, Komisi I, Komisi II, Komisi III, Komisi IV, Komisi V, Komisi VI, Komisi VII, Komisi VIII dan Komisi IX, untuk membentuk panitia khusus terkait RUU tentang Kelautan. Selanjutnya, pada tanggal 28 Maret 2013, Komite II DPD-RI secara resmi telah menyampaikan draft  RUU tentang Kelautan kepada Badan Legislasi.

Dengan demikian, bersamaan dengan pembahasan RUU Kelautan antara Pemerintah dan DPR, dengan adanya keputusan MK No. 92/PUU/2012 mengenai diberikannya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) untuk membuat peraturan perundang-undangan namun belum ada Juklak dan Juknis pelaksanaannya, menimbulkan kerancuan dan menghambat Baleg DPR-RI dalam melakukan pembahasan RUU Kelautan. Sehingga, untuk melaksanakan pembahasan RUU Kelautan ini harus ada pertemuan terlebih dahulu dengan MK, khususnya berkaitan dengan kewenangan DPD, sehingga pembahasan RUU kelautan berjalan sesuai kaidah dan mekanismenya.

Selanjutnya, pada laporan yang disampaikan Ketua Baleg, disampaikan bahwa akan dihadapi proses pembahasan yang memperkuat ataupun memperlemah optimisme penyelesaian RUU ini tahun 2013 ini. Sebab, antara lain permasalahan yang dihadai adalah, naskah akademik RUU Kelautan ini belum komprehensif sehingga perlu dibahas lebih matang. Persoalan lainnya adalah antisipasi terhadap adanya materi-materi yang tumpang tindih yang dimuat di RUU ini dengan materi yang sebenarnya juga telah diatur di RUU lainnya. Membahas dan mengantisipasi hal ini perlu kejelian mendalam, dengan demikian pembahasan RUU ini memang harus dilakukan oleh Pansus lintas Komisi.

Penutup

Penyelesaian RUU Kelautan, bagi DPR, sangat perlu untuk disegerakan. Namun demikian, sebagaimana kewenangan DPR yang “dibatasi”, bahwa sebuah RUU harus dibahas dengan Pemerintah, maka komunikasi dengan Pemerintah inilah yang menjadi kunci penyelesaian RUU Kelautan ini. Masalah komunikasi dengan pemerintah inilah yang juga harus dilakukan oleh DPr untuk penyelesaian berbagai RUU yang sedang dibahas. Dengan demikian, kita semua berharap berbagai RUU di DPr, khususnya RUU Kelautan, dapat segera di selesaikan

MEMBANGUN PONDASI PENGUATAN KELEMBAGAAN



Oleh Dr. Marzuki Alie

Agustus tahun ini, Republik Indonesia genap berusia 68 tahun. Dan pada Agustus tahun ini pula, DPR-RI memulai kembali Masa Persidangan Pertama tahun 2013-2014, dimana tahun ini merupakan tahun terakhir DPR masa bhakti 2009-2014 bekerja menjalankan tugas legislatif.  Sepanjang empat tahun ini, kinerja DPR tentu saja perlu dievaluasi kembali, guna memperbaiki kinerjanya pada sisa satu tahun mendatang.

Banyak kalangan menilai bahwa sepanjang kemerdekaan RI, kinerja wakil rakyat (DPR) mengalami “pasang dan surut”. Namun demikian menurut saya, DPR tidak pernah mengenal istilah pasang surut, yang benar adalah “dinamika demokrasi” yang berkembang sesuai dengan tatanan kehidupan kenegaraan. Bisa kita bandingkan kehidupan parlemen yang ada di era awal kemerdekaan dimana kualitas demokrasi cukup tinggi, kemudian masuk pada era orde lama dimana parlemen kurang memiliki independensi karena Presiden saat itu mempunyai kekuasaan besar. Di era orde baru, kita mengetahui bahwa keberadaan parlemen di tidak memiliki jati diri yang sebenarnya sebagai lembaga wakil rakyat, karena besarnya kekuasaan pemerintahan Soeharto. Di era ini bahkan, DPR terkesan sebagai “stempel” Pemerintah.

Di era reformasi, kita mengoreksi kembali peran lembaga negara. Kekuasaan Presiden dikurangi dan DPR memiliki jati diri yang sebenarnya, sebagai lembaga representasi rakyat. Kewenangan yang dimiliki dibidang legislasi, diperkuat melalui amandemen UUD 1945, yaitu memiliki kekuasaan membentuk UU bersama Pemerintah. Di bidang anggaran, DPR menentukan politik anggaran negara, bahkan kewenangan membahasnya sampai dengan satuan tiga. Di bidang pengawasan, pelaksanaan check and balances benar-benar terwujud dengan kuatnya fungsi pengawasan DPR terhadap Pemerintah dalam menyikapi kebijakan yang ditetapkan Pemerintah.

Kinerja DPR dengan kewenangan yang makin kuat di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran, seharusnya membuat kinerja makin baik bagi kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Namun, terkadang tiga fungsi tersebut tidak bisa berjalan optimal, terutama fungsi legislasi, meskipun Dewan telah menyeimbangkan kinerja, yaitu 60% untuk kinerja legislasi, 40% untuk kinerja anggaran dan pengawasan.

Pelaksanaan Kinerja

Pelaksanaan fungsi legislasi dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tiap tahun, ditentukan dalam prioritas tahunan atas dasar kesepakatan antara DPR dan Pemerintah. Rata-rata tiap tahun diputuskan 70 RUU yang harus diselesaikan, baik RUU yang datang dari inisiatif Pemerintah maupun inisiatif DPR. RUU tersebut meliputi berbagai bidang, yaitu bidang ekonomi, politik  dan hukum, serta sosial kemasyarakatan.

Produk RUU yang dihasilkan tiap tahun memang masih belum optimal karena banyak kendala. Sebagai contoh, untuk tahun 2013 ditentukan 70 RUU prioritas dan baru dapat diselesaikan 13 RUU sampai akhir Juli 2013. Namun Insya Allah, 23 RUU yang sedang dalam pembahasan tingkat I akan segera dilanjutkan dan diselesaikan pada masa sidang ke I dan ke II tahun sidang 2013-2014 yang akan datang.

Berbagai kendala yang merupakan hambatan dalam penyelesaian RUU telah dicarikan solusi pemecahannya, melalui berbagai konsultasi sudah dilakukan hingga tingkat konsultasi DPR dengan Presiden. Alhamdulillah cara ini telah dapat meminimalisir kendala yang ada.

Kinerja legislasi di DPR memang sedikit terkendala karena DPR belum memiliki law center, sebagaimana Pemerintah yang memiliki Badan Hukum Nasional, untuk memperkuat basis data dalam penyusunan RUU. Law center yang saya cita-citakan inilah, yang nanti kalau sudah terbentuk, akan membantu penyelesaian RUU lebih cepat, sehingga anggota DPR hanya membahas konten politiknya saja.

Berkaitan dengan banyaknya kritik masyarakat mengenai minimnya produk legislasi DPR, masyarakat harus paham bahwa urusan penanganan RUU meliputi semua proses yang harus dijalani, sejak penyusunan naskah akademik, perumusan RUU, pembahasan, masukan dari masyarakat dan seterusnya, semua memerlukan kecermatan, ketelitian dan kemampuan. Sehingga diharpkan dapat menghasilkan RUU yang berkualitas yang berpihak kepada rakyat. DPR tidak ingin RUU yang dihasilkan justru tidak merepresentasikan keinginan masyarakat bahkan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebenarnya, meskipun minim secara kuantitas, secara kualitas banyak “UU monumental” yang menghasilkan aturan-aturan pro-kepentingan rakyat, misalnya; UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), UU Tentang Pengelolaan Zakat, UU tentang Lembaga Keuangan Mikro, UU Bantuan Hukum, UU Pemberdayaan dan Perlindungan Petani, UU tentang Perumahan dan Permukiman, UU tentang Pangan, dan masih banyak lagi lainnya, termasuk RUU yang masih dibahas seperti RUU Tabungan Perumahan Rakyat, RUU Tentang Desa, dan lain-lain.

Selain itu, RUU penting lainnya adalah RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (PPDK) dan RUU ASN (Aparatur Sipil Negara). Pansus RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (PPDK) masih menunggu tanggapan positif dari pemerintah untuk keberlanjutan pembahasannya. Adapun RUU ASN (Aparatur Sipil Negara) sepanjang pengamatan saya, masih banyak point penting yang perlu di diskusikan lebih lanjut, diantaranya Jabatan Eksekutif Senior, Komisi Aparatur Sipil Negara (KSAN), Organisasi ASN dan Pengganjian dan Pensiunan Pegawai ASN.

RUU lain juga yang kita katakan cukup monumental, adalah RUU dibidang pembangunan hukum, antara lain RUU KUHP dan KUHAP yang sedang dalam proses pembahasan. Jika kedua RUU ini selesai, berarti merupakan prestasi anak bangsa. Selama ini bangsa Indonesia masih menggunakan KUHP warisan Belanda, sementara KUHAP yang telah berlaku selama 30 tahun mempunyai banyak kelemahan saat pelaksanaan. Selain itu, ada juga RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang saat ini tengah direvisi, menggantikan UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (LN) yang masih minim dalam hal pengaturan kebijakan perlindungan bagi TKI di LN. semua RUU ini dihasilkan oleh DPR periode 2009-2014 ini.

Untuk pelaksanaan fungsi anggaran, kita harus melihat konteks fungsi ini dalam kaitan dengan tanggungjawab sebagai lembaga perwakilan, khususnya untuk menentukan berapa pendapatan yang harus didapat negara dan berapa belanja negara yang harus dikeluarkan dalam kaitan keberlangsungan bangsa dan negara. Kewenangan anggaran ini dituangkan dalam pembahasan APBN, dimana DPR memegang peranan penting, sebab sesuai dengan konstitusi, apabila DPR tidak menyetujui usulan pengajuan anggaran oleh Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Dalam kaitan ini, DPR dengan fungsi anggaran, memiliki tanggungjawab turut menentukan arah pembangunan nasional, termasuk arah kebijakan fiskal yang ditetapkan tiap tahun melalui proses penyusunan dan penetapan APBN. Tanggung jawab inilah yang kita sebut sebagai politik anggaran DPR.

Pelaksanaan politik anggaran DPR, tidak dimaksudkan untuk mengedepankan hak budget DPR semata, tetapi merupakan tanggungjawab dalam mengaktualisasikan berbagai aspirasi masyarakat, dan mengakomodir, serta memberikan respon terhadap tuntutan dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, politik anggaran DPR telah turut memberikan warna terhadap bentuk dan wujud kongkrit pembangunan nasional tiap tahun melalui penetapan APBN, yang pada gilirannya merupakan instrumen penting mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tekad DPR dalam penyusunan/pembahasan anggaran adalah untuk mengurangi angka kemiskinan, menetapkan anggaran belanja modal yang sangat urgent untuk menggerakkan roda perekonomian nasional.

Menjawab kritik masyarakat yang menilai bahwa awal dari korupsi yang dilakukan oleh beberapa anggota Dewan karena kewenangan besar yang dimiliki Dewan dalam fungsi anggaran. Pembahasan sampai satuan tiga memang memungkinkan terjadinya peluang korupsi, dan hal itu tidak saja berkaitan dengan oknum anggota DPR tetapi juga pejabat Pemerintah. Marilah kewenangan ini kita pertimbangkan kembali.
Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan,DPRberusaha untuk semaksimal mungkin mengakomodir dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, mencari solusi atas berbagai permasalahan di bidang politik keamanan, hukum, ekonomi dan kesejahteraan dengan mengedepankan skala prioritas untuk kepentingan rakyat. Dalam kaitan dengan fungsi inilah maka DPR membentuk Tim Pengawas, antara lain Tim Pengawas Century, Tim Pengawas Masalah Otonomi Khusus Papua dan Aceh, Tim Khusus DPR RI untuk penanganan masalah TKI yang beranggotakan lintas komisi dan tim-tim yang lain, termasuk Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi-komisi untuk menangani masalah-masalah sesuai bidang masing-masing.

Pelaksanaan Renstra DPR
Dalam memperkuat kinerja Dewan, masyarakat harus faham bahwa saya selaku Ketua DPR sekaligus sebagai Ketua BURT, telah meletakkan fondasi bagi penguatan lembaga DPR. Penguatan ini tidak hanya berkaitan dengan Dewan sebagai lembaga legislatif, tetapi juga penguatan lembaga pendukung, yaitu Sekretariat Jenderal. Rencana dan Strategi DPR (Renstra) periode DPR-RI 2010-2014 yang baru pertama dicanangkan, saya harapkan mampu dijalankan untuk menjawab kritik masyarakat berkaitan dengan kinerja.

Selaku Ketua DPR, saya telah mencanangkan Program ini diawal kepemimpinan saya. Renstra DPR merupakan pedoman kerja strategis untuk setiap entitas lembaga DPR. Renstra memuat latar belakang dan tujuan dibentuknya, penjelasan mengenai kondisi DPR saat ini, visi lembaga yang emrupakan cita-cita lembaga DPR Periode 2009-2014 dan epncapaiannya, untuk kurun waktu 5 tahun. Misi lembaga sebagai penjabaran visi dilaksanakan secara bertahap. Renstra sudah ditetapkan dan dalam beberapa hal sudah direalisasikan, misalnya Penguatan Sarana Representasi, Pengembangan E-Parliament, Perpustakaan Parlemen, Penguatan Kehumasan DPR RI, Kemandirian Pengelolaan Anggaran DPR RI, maupun Pengembangan Prasarana Utama, secara nyata telah mendukung kinerja sekretariat jenderal yang mendapat penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK selama sejak 2010 sampai 2013 ini.

Selain itu, banyak prestasi Setjen DPR RI juga telah banyak  menerima penghargaan, antara lain; dari Komisi Informasi Pusat RI Sebagai Badan Publik Yang Proaktif Dalam Persiapan dan Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dari Komisi Informasi Pusat RI sebagai Badan Publik Terbaik dalam pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan telah ditetapkan menjadi model nasional keterbukaan informasi publik; dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI atas Prestasinya dalam Akuntabalitas Kinerja Tahun 2012 dengan predikat nilai “CC”. Menerima Award dari Menteri Keuangan RI atas Kinerjanya yang sangat baik di Bidang Pengelolaan Barang Milik Negara Tahun 2011 sebagai Juara Kedua Kategori Kepatuhan pelaporan Barang Milik Negara untuk Kelompok Kementerian/Lembaga dengan jumlah unit kuasa pengguna barang sampai dengan 10 satuan kerja, dan berbagai penghargaan lainnya.



Ini semua merupakan prestasi luar biasa. Artinya DPR telah menjadi lembaga negara yang paling transparan sejak era saya.



Namun demikian, beberapa realisasi Renstra, juga masih dalam proses karena ada beberapa program yang belum dapat terealisir, antara lain pembentukan Badan Fungsional Keahlian (BFK) yang sedang dalam proses pembahasan dengan Menteri PAN, kemudian law center dan budget office yang baru menjadi gagasan, termasuk pembentukan Unit Pengawasan Internal. Ini belum terwujud karena memang memerlukan penyesuaian dan perencanaan yang lebih matang, namun setidaknya pada masa kepemimpinan saya DPR RI 2009-2014 sudah meninggalkan warisan bagi periode berikutnya. Untuk bagian-bagian yang belum terwujud adalah “Pekerjaan Rumah” bagi Kepemimpinan DPR yang akan datang. Kalau Renstra dapat berjalan, maka Insya Allah, DPR akan menjadi lembaga yang mampu menjalankan tugas reprsentasi rakyat yang sesungguhnya.

Upaya Kedepan

Sejumlah langkah kemajuan yang telah dilakukan pada masa kepemimpinan DPR RI periode 2009-2014 dalam membangun kelembagaan yang kuat, tentu harus dijaga bersama dan bahkan tetap dilanjutkan pada masa kepemimpinan berikutnya. Penguatan fungsi-fungsi DPR RI, mulai dari fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan hingga terbentuknya Rencana Strategis (Renstra) DPR RI serta kualitas system pengaduan masyarakat yang baik, harus terus diiringi dengan kualitas SDM anggota Dewan yang baik.


Sebagai Ketua DPR RI, tentu saya berharap kinerja dewan dengan alat-alat kelengkapannya akan meningkat dari waktu ke waktu. Bekerja bukan untuk dilihat orang, namun karena menjalankan tanggung jawab terhadap manusia dan lebih utama pada Allah SWT. Dengan mengingat hal tersebut, maka para anggota dewan akan selalu berusaha menjadi tipe pemimpin yang baik, menjalankan konsep shiddiq (jujur), tabligh ( menyampaikan), amanah ( terpercaya) dan fathonah (cerdas).


Menjalankan langkah kepemimpinan dengan sisa waktu satu tahun ke depan, maka saya menghimbau pada para anggota dewan untuk terus berpedoman pada sumpah jabatan di masa awal menjabat menjadi anggota dewan. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh anggota dewan dalam menyokong penguatan kelembagaan DPR RI saat ini. Pertama, para anggota tentu harus paham Tata Tertib dan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kedua, dalam melaksanakan fungsi legislasi, harus menguasai materi UU yang menjadi tugas anggota untuk membahasnya. Ketiga, di bidang anggaran, anggota harus paham mengenai proses dan mekanisme pembahasan APBN, tidak hanya sebatas pembahasan dan penetapan APBN, namun juga hubungannya dalam hal keuangan negara. Keempat, di bidang pengawasan, anggota harus cermat menangkap permasalahan, memahami dinamika politik, mampu menjawab dan memposisikan permasalahan dengan benar.

Semoga dengan dukungan para wakil-wakil ketua DPR yang bersifat kolektif kolegial, dukungan fraksi-fraksi dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, DPR RI akan terus melangkah maju ke depan, mewujudkan lembaga perwakilan rakyat yang amanah, sebagaimana cita-cita kita bersama. Amin.*